Oleh : Aswandi
Pemilihan
Jenis
Pada
beberapa tempat di Simalungun dan Karo pola-pola agroforestry (wana tani) telah
di praktekkan sejak lama. Di beberapa desa tua di Pematang Sidamanik Kabupaten
Simalungun, petani telah menanam kopi (Coffea
robusta), jagung (Zea mays),
cengkeh, kulit manis (Cinnamomum sp),
ingul/suren (Toona chinensis), durian
(Durio zibethinus) dan kemiri (Aleiritus
moluccana) pada suatu bentang lahan. Sedangkan di beberapa tempat di Karo
(misalnya Kecamatan Merek), masyarakat menanam cabe diantara tanaman kopi serta
memagari tanaman mereka dengan lantoro/kemlandingan atau macadamia sebagai
sekat bakar. Sekat bakar tersebut juga berfungsi sebagai batas lahan milik
mereka.
Apabila
dibandingkan, terdapat sedikit perbedaan jenis tanaman yang ditanam di daerah
Simalungun, Karo dan Samosir. Karena di daerah Simalungun (terutama) di sekitar
Danau Toba memiliki kelerengan lebih
tinggi, jenis-jenis tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kulit manis, kemiri,
MPTs seperti durian dan suren sebagai tanaman kehutanan lebih disukai ditanam.
Dengan harga yang cukup baik, tanaman kopi menjadi andalan masyarakat di
wilayah ini. Sedangkan kulit manis, kemiri dan durian lebih sebagai hasil
sampingan dan kayu ingul sebagai tabungan mereka. Kayu ingul sangat disukai
karena dapat digunakan sebagai bahan perumahan dan kapal, kerajinan ukiran
serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada beberapa lokasi yang lebih datar
seperti di Kecamatan Purba, masyarakat Simalungun juga telah menanam tomat,
cabe, dan berbagai holtikultur lainnya secara intensif.
Dengan
pola yang lebih intensif, praktek pertanian di Kabupaten Karo jauh lebih maju
dibandingkan Simalungun dan Samosir sehingga telah menjadi sentra sayur-sayuran
andalan di Sumatera Utara. Produk pertanian dari wilayah ini seperti jeruk,
tomat, cabe, lobak/kol, sawi, dan beberbagai hortikultura lainnya dipasok ke
provinsi tetangga seperti NAD dan Riau bahkan ke Jawa dan Singapura. Dengan
pola yang lebih intensif dan
mengandalkan pupuk anorganik dan organic, pola tanaman campuran
multistrata relatif tidak banyak dipraktekkan masyarakat. Umumnya masyarakat
hanya menanam suren, lantoro/kemlandingan dan makadania sebagai sekat bakar
atau batas wilayah. Jikapun ada masyarakat lebih menyenangi tanaman kopi yang
ditanam diantara bedengan mulsa tanaman cabe atau tomat.
Dibandingkan
Karo dan Simalungun, praktek bertani masyarakat Samosir lebih tertinggal.
Walaupun demikian, praktek wana tani juga telah dikenal masyarakat. Di
Simanindo, masyarakat menanam tanaman kemiri, kopi, suren, mangga parapat, dan
nangka diantara tanaman pertanian mereka seperti jagung. Tanaman kemiri dan
kopi sangat disukai karena buah yang dipanen dapat bertahan lama sehingga dapat
dijual ketika harga sedang tinggi. Pohon nangka dan mangga parapat sesungguhnya
sangat disukai masyarakat tetapi karena selain menghasilkan buah yang bernilai
ekonomi baik, jenis ini juga sangat disenangi sebagai bahan baku kerajinan
patung, penebangan kayu ini tidak dapat dihindari. Sayangnya sangat sedikit
usaha-usaha yang telah dilakukan untuk meregenerasi jenis mangga parapat dan
nangka. Saat ini sebagian besar ‘merek’ mangga parapat yang diperdagangkan
bukanlah berasal dari pulau Samosir atau daerah Parapat sendiri melainkan dari
daerah Perbaungan (Serdang Bedagai). Apabila tidak ada usaha-usaha untuk
menanam kembali mangga parapat dan nangka kedua jenis ini akan semakin langka
di Samosir.
Dengan
harga yang baik, pemasaran yang mudah, tanaman kopi ateng (dahulunya berasal
dari daerah Aceh Tengah – Gayo) yang berumur pendek yakni pada umur 2 tahun
telah dapat dipanen hingga berumur 10 tahun sangat disukai masyarakat sehingga
mulai secara sporadic ditanam masyarakat di Simalungun, sebagian Karo dan
Samosir. Dengan luas lahan hanya 20 m x 20 m (1 rantai dalam sistem lahan
batak) setiap bulan rata-rata dapat dipanen beberapa kaleng biji kopi kering
atau setera dengan harga 1-2 juta rupiah. Tidak banyak biaya yang dikeluarkan
karena pemupukan dapat dilakukan dengan pupuk organik dari kotoran kerbau yang
banyak dipelihara masyarakat. Sedangkan waktu yang tersita tidak terlalu banyak
kecuali untuk membersihkan gulma dan pemanenannya. Pada permulaan tanaman kopi
ditanam di Samosir banyak petani yang mengalami kegagalan akibat kesembronoan
memanen kopi. Pada saat itu biji kopi dipanen tidak dengan dipetik biji per
biji tetapi lebih disentak sehingga juga merontokkan buah bakal biji yang
terdapat di ujung ranting.
Berdasarkan
wawancara dengan petani, jenis kopi ini juga disukai karena tidak diperlukan
tenaga yang besar untuk memeliharanya sehingga sangat jarang ditemui kaum laki-laki
di ladang kopi di Samosir. Bahkan ada ungkapan ‘tabu’ untuk mengetahui berapa
harga kopi di pasaran oleh kaum laki-laki karena urusan memanen dan menjual
kopi tersebut merupakan urusan perempuan. Peran laki-laki di kebun kopi hanya
pada saat kebun tersebut dibangun yakni saat pembukaan lahan, pembuatan lubang
tanam dan penanaman.
Disukainya
beberapa jenis tanaman ini oleh masyarakat lebih atas kesadaran sendiri. Karena
pada umumnya masyarakat Batak (terutama Batak Karo) memiliki budaya suka meniru
keberhasilan orang lain, maka praktek-praktek bertani di tempat lain yang
dicobakan dan berhasil oleh beberapa orang terdahulu kemudian menyebar luas di
masyarakat. Menurut masyarakat, terutama di Samosir sangat sedikit usaha-usaha
yang dilakukan pemerintah maupun LSM untuk mendorong keberhasilan sector
pertanian mereka. Beberapa tahun terakhir terdapat lembaga luar negeri yang
mengembangkan jenis kemiri dan vanili di Samosir, akan tetapi karena tata niaga
kemiri tidak dibangun dengan baik (terutama akibat biaya transportasi yang
tinggi) kegiatan ini akhirnya tidak berlanjut.
Pembagian
Waktu
Gender
sangat nyata dalam praktek pertanian di wilayah pengamatan terutama di Samosir.
Apabila kita mengitari pulau Samosir dari Tomok (Simanindo) menuju Ambarita,
Simarmata, Pangururan, Palipi, Nainggolan dan Onan Runggu sangat jarang kita
temui kaum lelaki di ladang dan kebun pada siang – sore hari. Di kebun kopi,
sawah, ladang sering kita temui kaum perempuan menyiangi tanaman, merawat
tanaman memanen kopi, dan berbagai pekerjaan lainnya. Sedangkan kaum laki-laki
lebih banyak ditemui di kedai kopi atau lapo tuak menghabiskan waktu mengobrol
menghabiskan waktu membicarakan berbagai hal.
Secara
sepintas, pembagian waktu seperti ini tentu tidak seimbang dan memberatkan pihak
perempuan. Akan tetapi apabila kita amati lebih jeli, terdapat pola pembagian
waktu antara kaum laki-laki dan perempuan di ladang/kebun. Umumnya para petani
terutama kaum lelaki ke ladang mulai ketika matahari sedikit naik dari ufuk
(jam 6 pagi) dan mengerjakan pekerjaan yang cukup berat seperti mencangkul,
membajak lahan, dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga fisik lainnya.
Setelah matahari cukup tinggi, kaum lelaki ini kemudian beristirahat atau
mengerjakan pekerjaan lainnya (terutama yang langsung menghasilkan uang)
seperti menjadi buruh angkut di pasar, menarik becak, pembuat rumah, penebang
pohon, membuat kapal, mengukir dan sebagainya. Pada masa istirahat inilah kaum
laki-laki banyak ditemui di kedai kopi/ lapo tuak.
Kaum
perempuan memulai aktivitasnya setelah matahari terbit untuk menyiapkan segala
keperluan keluarga di rumah. Setelah menyiapkan dan meninggalkan bekal sarapan
dan makan siang untuk anggota keluarga lainnya, kaum perempuan menyusul kaum
laki-laki (suami) ke kebun dan ladang. Setelah bekerja beberapa saat bersama,
sekitar jam 7-8 pagi istirahat sarapan pagi dengan bekal yang dibawa kaum perempuan
dari rumah. Setelah hari cukup tinggi dimana kaum laki-laki meninggalkan
kebun/ladang untuk istirahat dan bekerja di tempat lain, kaum perempuan tetap
tinggal di ladang hingga sore hari mengerjakan pekerjaan merawat tanaman dan
memanennya. Bahkan pada beberapa tempat di Samosir, pekerjaan menjual hasil
panen seperti kopi dan sayur mayur dianggap merupakan pekerjaan perempuan.
Bahkan menjadi hal yang tabu apabila seorang lelaki mengetahui harga pasar dari
hasil pertanian tersebut.
Walaupun
tidak terlihat menyolok seperti halnya di Samosir, alokasi waktu kaum perempuan
juga lebih banyak di kebun dan ladang dibandingkan kaum laki-laki di Karo dan
Simalungun. Akan tetapi karena praktek pertaniannya lebih intensif, kaum
laki-laki juga banyak ditemui menyemprot tanaman dengan zat kimia dan mendorong
traktor dan memanen kol, kentang dan wortel. Alokasi waktu di ladang kaum
laki-laki di kedua lokasi ini lebih besar dibandingkan Samosir. Tidak terlalu
banyak kita temui kaum lelaki di lapo tuak/ kedai kopi di sepanjang jalan dari
Parapat (Simalungun) – Merek (Karo), bahkan intensitas yang lebih rendah
terdapat di Karo.
Alasan-alasan
ekologi masyarakat menanam tanaman berkayu pada lahan milik mereka tidak bisa
banyak digali karena sebagian besar penanaman pohon lebih didasarkan atas
kepentingan ekonomi (tabungan). Tidak seperti di derah Dairi dan Pakpak Bharat
yang didominasi hutan lindung dengan karakteristik lahan dengan solum yang
lebih tebal sehingga apabila terjadi perubahan/ keterbukaan lahan yang cukup besar
dapat mengakibatkan bencana longsor, jarang sekali terjadi peristiwa tanah/batu
longsor di daerah pinggir Danau Toba di Simalungun, Karo dan Samosir yang
memiliki ketebalan tanah yang tipis dan struktur bebatuan yang cukup kompak
(gunung cadas). Jarangnya peristiwa tanah longsor bahkan banjir ini juga diduga
mengakibatkan masyarakat tidak begitu peduli sebetulnya terhadap usaha-usaha
menanam pohon sebagaimana masyarakat di wilayah lain yang sering mengalami
bencana erosi dan banjir. Akan tetapi, terdapat kesadaran untuk tidak menebang
pepohonan yang berada di hulu mata air di ketiga lokasi ini. Karena umumnya
masyarakat di Pematang Sidamanik – Simalungun hidup di sekitar alur-alur
(sungai kecil) di lereng-lereng bukit di sekitar Danau Toba, larangan menebang
pohon dengan alasan akan mengurangi sumber air masih dipatuhi masyarakat.
Teknik
Pengolahan Tanah
Karena
terbatasnya areal pertanian pada wilayah dengan topografi datar, masyarakat
juga bercocok tanam pada daerah-daerah lereng di sekitar Danau Toba. Di sekitar
danau yang umumnya berupa lahan basah, masyarakat bercocok tanam padi sawah
walaupun tidak dengan pengairan teknis. Pada wilayah yang lebih dataran yang
kering di sekitar danau masyarakat bercocok tanam cabe, tomat, bawang merah dan
sayur-sayuran. Wilayah ini cukup subur (endapan cukup tebal) karena merupakan
wilayah endapan dari erosi lereng yang terdapat di sekitarnya. Wilayah
persawahan di sekitar danau banyak terdapat di kecamatan Simanindo dan Sianjur
Mual-mula (Limbong Sagala) di Samosir dan Sipolha Pematang Sidamanik di
Simalungun. Sedangkan areal persawahan jarang terdapat di Karo. Tanaman kemiri
juga banyak ditanam di lembah di sekitar danau di Samosir.
Di
daerah Pangururan dan sekitarnya areal persawahan terdapat di sekitar danau
hingga sedikit lebih masuk ke dalam pulau. Untuk mengairi areal persawahan
tersebut belum terbangun irigasi teknis sehingga masih mengandalkan curah
hujan. Sulitnya memeroleh pengairan ini juga membatasi usaha-usaha pengembangan
pertanian di Samosir. Dapat diibaratkan pulau Samosir ini sebagai pulau kering
ditengah lautan air padahal juga terdapat dua buah danau diatas pulau dan
ratusan air terjun dan alur-alur sungai di celah-celah bukit.
Pada
wilayah yang lebih berlereng masyarakat umumnya menanam kopi, cengkeh dan kayu
manis serta tanaman kehutanan seperti suren dan petei. Di wilayah ini,
masyarakat memperoleh air dari mata air yang dialirkan dengan pipa atau bambu
ke wilayah pertanian masyarakat (terlihat di Pematang Sidamanik Simalungun).
Pada lereng-lereng yang dilewati alur-alur sungai sangat disukai masyarakat
untuk areal pertanian dan perkebunan. Lahan ini dahulunya diperkirakan
merupakan areal hutan marga yang dibuka untuk perladangan dengan rotasi bera
beberapa tahun.
Di
sepanjang kawasan hutan lindung di daerah Pematang Sidamanik (Simalungun)
terutama yang berada di pinggir jalan, banyak ditemukan praktek penanaman kopi
di bawah tegakan tusam yang telah masuk kawasan hutan. Masyarakat menanam kopi
hingga jarak 20 meter ke dalam kawasan dengan perjanjian tertentu dengan pihak
Dinas Kehutanan untuk menjaga hutan yang berada di atasnya. Skim ini cukup
mampu mengurangi gangguan hutan, dimana terdapat indicator kepedulian
masyarakat secara tidak langsung menjaga hutan dengan menjaga tanaman kopi di
sekitar hutan dari penjalaran kebakaran lahan di bawahnya.
Pengetahuan
Masyarakat
Pengetahuan
dan teknik bercocok tanam masyarakat umumnya diperoleh secara turun temurun.
Hanya segelintir petani yang mempraktekkan ilmu pertanian yang diperoleh dari
pelatihan petani yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Ilmu pertanian
yang paling diminati adalah budidaya jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi
tinggi seperti vanili, kopi dan hortikultura. Sedangkan penanaman tanaman
kehutanan dilakukan dengan teknik yang sama dengan tanaman lainnya oleh
masyarakat.
Bibit
kopi umumnya diperoleh masyarakat dengan membibitkan sendiri sehingga umumnya
kualitas bibit rendah. Sedangkan bibit sayur-sayuran diperoleh dari pembuatan
sendiri jadi tanaman F1 sehingga kualitasnya juga semakin menurun. Penggunaan
bibit unggul jarang digunakan karena harganya relative mahal. Bibit tanaman
kehutanan seperti ingul umumnya diperoleh dari cabutan alam yang tumbuh di
sekitar pohon induknya.
Kegiatan
bercocok tanam umumnya dimulai dengan kegiatan pembukaan lahan pada musim
kemarau sehingga bibit dapat ditanam pada awal musim hujan. Karena tidak
dilakukan dengan intensif, petani di Samosir tidak begitu banyak mengeluarkan
biaya untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan. Sebaliknya, intensifikasi
pertanian sudah dipraktekkan di Karo dan sebagian Simalungun sehingga berita
kurangnya pasokan pupuk (organic dan anorganik) sering menghiasai media cetak
daerah terutama pada musim tanam. Kurangnya penggunaan bibit unggul juga
mengakibatkan produksi tidak tinggi dan rentan terserang hama dan penyakit
tanaman.
Kendala
kesuburan tanah yang rendah umumnya dihadapi petani di Samosir terutama pada
lahan-lahan yang terdapat di lereng dan di atas bukit. Kesuburan yang rendah
ini dapat diakibatkan oleh sifat fisik tanah yang didominasi pasir berbatu
dengan kandungan liar yang sangat rendah. Karakteristik ini mengakibatkan
kemampuan mengikat hara sangat rendah. Karena kurangnya penyuluhan yang
diterima, sebagian besar petani malahan menggunakan pupuk cair dan butiran yang
mudah terlarut sehingga cepat sekali terjadi pelindian. Walaupun telah berulang
kali dilakukan pemupukan, produktivitas tanah tetap tidak dapat ditingkatkan
dan pupuk tersebut malah larut melalui aliran run-off yang kemudian terkumpul
di daerah pantai di sekitar danau dan mencemari perairan. Oleh karena itu
diperlukan kajian khusus tentang tanah dan teknik pemupukan yang tepat misalnya
dengan menggunakan pupuk organic dan PMLT (Pupuk Majemuk Lepas Terkendali).
Penyakit
dan hama yang menyerang umumnya pada tanaman cabe dan tomat. Tidak digunakan
bibit unggul, obat-obatan yang kurang dan dengan dosis yang kurang atau
melebihi mengakibatkan usaha pencegahan penyakit kurang berhasil dilakukan.
Pada beberapa petani, akibat kurangnya penyuluhan masih ditemui praktek
mencampur herbisida dan pupuk dalam satu kali penyiraman atau
sekurang-kurangnya tidak membersihkan tanki semprotan dari senyawa lain sebelum
memasukkan jenis pupuk yang baru sehingga memberikan dampak yang merusak bagi
tanaman.
Untuk
mengendalikan serangan hama petani juga melakukannya secara mekanis yakni
dengan mencabut atau mematikan tanaman yang terserang hama dan penyakit. Ketika
penyakit kutu dan belalang menyerang tanaman cabe dan tomat masyarakat
memusnahkan tanaman mereka agar tidak menular ke tempat lain. Sama halnya
dengan penyakit busuk batang dan akar yang menyerang tanaman jeruk di Karo
sehingga masyarakat harus memusnakan tanamannya dalam beberapa waktu.
Di
wilayah Karo dan sebagian Simalungun yang telah maju pertaniannya, para
pedagang pengumpul langsung membeli hasil panen ke ladang-ladang atau pada
tempat-tempat pengumpulan hasil panen. Di wilayah ini informasi harga dapat
diketahui oleh semua petani sehingga resiko hasil panen dijual dengan harga
rendah di bawah harga pasar dapat dihindari. Transportasi yang lancar dan jarak
yang tidak jauh dari konsumen (Medan, Pematangsiantar dan kota-kota di
sekitarnya) mengakibatkan harga hasil panen yang dijual cukup bersaing.
Sebaliknya, masalah transportasi menjadi kendala utama dalam memasarkan produk
pertanian di Samosir. Sangat jarang terdapat moda transportasi yang dapat
digunakan untuk mengangkut hasil pertanian di Samosir baik di dalam wilayah maupun membawanya ke
luar wilayah. Tingginya biaya transportasi ini mengakibatkan margin keuntungan
yang diperoleh petani sangat kecil. Apabila dibandingkan dengan sentra-sentra
pertanian di Simalungun dan Karo, produk pertanian dari Samosir kurang dapat
bersaing sehingga menjadi diinsentif bagi petani Samosir mengusahakannya
(apalagi kesuburan tanah rendah). Selama ini harga hasil panen pertanian lebih
ditentukan oleh para pedagang pengumpul (cukong) yang memiliki alat transport
sendiri mengangkut hasil panen tersebut.
Lahan
Pertanian dan Hutan
Kegiatan
bercocok tani masyarakat umumnya dilakukan pada lahan milik dan terdapatnya
areal kawasan hutan Negara yang dipakai untuk lahan pertanian masyarakat
bersifat kasuistik (terutama pada areal-areal yang telah mengalami konflik
sejak lama – misal di daerah Girsang Sipangan Bolon, Pematang Sidamanik). Belum
dikumpulkan data berapa luasan hutan yang telah digunakan untuk tanaman
kehutanan dan pertanian – kecuali ribuan hektar hutan produksi digunakan
sebagai areal HTI Ekaliptus.
Berdasarkan
Sensus Penduduk tahun 2005 (BPS, 2005), luas lahan tidur yang terdapat di
Kabupaten Samosir mencapai 48 ribu hektar atau setara dengan 77,4% dari luas
lahan kering yang ada di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur ini memiliki
korelasi positif dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % dari
jumlah penduduk Kabupaten Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan
lebih dari 90% menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Jumlah ini
meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa)
selama periode tersebut. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya tekanan
terhadap kelestarian hutan alam yang tersisa.
Umumnya
lahan tersebut kosong karena jumlah tenaga kerja yang terbatas, produktivitas
lahan yang semakin menurun karena telah dikelola berulang kali sedangkan
pemulihan unsur hara melalui pemupukan jarang dilakukan. Di daerah Penguruan
dan ronggur nihuta lahan kosong ini digunakan sebagai padang pengembalaan
ternak.
Terjadinya
konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah (konflik vertika) dan konflik
antara marga dan dalam marga/keluarga (konflik horizontal) turun mendorong
meluasnya lahan tidur. Konflik antar marga terjadi terutama antar lahan marga
yang bersebelahan yang memiliki sejarah sengketa lahan yang sejak lama. Akan
tetapi konflik lahan antar marga ini jarang terjadi. Sedangkan konflik antar
keluarga dalam satu marga umumnya terjadi akibat kecemburuan anggota marga yang
telah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari nafkah di wilayah lain atas
penguasaan lahan marga oleh anggota keluarga (marga) yang masih mendiami dan
mewarisi lahan nenek moyangnya.
Konflik
akan semakin meruncing apabila anggota keluarga yang masih berdiam di kampung
halaman adalah anak perempuan yang telah bersuami. Karena pola pewarisan lahan
marga/kelaurga melalui garis keturunan anak laki-laki, pengelolaan lahan oleh
suami anak perempuan tersebut dapat memancing konflik akibat kekhawatiran
penguasaan lahan dan pembagian keuntungan dari pengolahan lahan tersebut.
Kecemburuan tersebut pada tingkat tertentu dapat memancing perpecahan keluarga
dan atau mengakibatkan masyarakat yang berada di kampung halaman mengalami
kesulitan untuk mengakses dan mengolah lahan marga mereka tersebut sehingga
menjadi terlantar. Semakin lemahnya kontrol dan pengakuan terhadap hukum adat
mengakibatkan konflik antar keluarga dalam satu marga ini menjadi
berlarut-larut dan sulit dipecahkan sehingga menjadi disinsentif bagi
masyarakat yang hidup dari sector pertanian yang banyak terdapat di pedalaman Samosir.
Patner Petani Lokal
Secara
sederhana pola-pola kerjasama dalam bercocok tanam sudah terdapat dalam
masyarakat tradisional Batak di Samosir. Para pemilik lahan yang tidak mampu
mengolah lahannya akan menyewakan lahan pertanian mereka dengan pembagian hasil
50 : 50 dengan petani penggarap. Petani penggarap menyediakan semua sarana
produksi pertanian.
Pada
sistem pertanian yang lebih intensif dimana permodalan untuk mencukupi sarana
produksi pertanian dibutuhkan lebih besar, kredit usaha tani telah berkembang
di Karo. Banyak ditemui kelompok-kelompok tani yang ikut serta dalam koperasi
dan meminjam uang di Bank untuk mencukupi modal mereka. Di wilayah Karo juga
banyak ditemui pendamping/ penyuluh yang berasal dari industry pupuk dan sarana
pertanian yang juga memberikan penyuluhan pertanian dalam memasarkan produk
mereka. Pendamping dari Industry pertanian ini juga membantu masyarakat dalam
pengadaan bibit, penyiapan lahan tanaman hingga pengendalian hama penyakit dan
pemasaran hasil panen. Apabila para petani setia dengan produk pupuk dan obat-obatan
dari industry tersebut, pendampingan dilakukan lebih intensif.
Berdasarkan
pengalaman masyarakat, peran pemerintah tidak banyak dalam pemasaran produk
pertanian. Khusus untuk tanaman kehutanan, setelah pemerintah daerah melarang
penebangan kayu pinus di Simalungun dan Samosir sangat sulit ditemui kayu pinus
di pasaran. Akan tetapi aturan ini menguatkan peran instansi kehutanan (Dinas
Kehutanan) di daerah dimana setiap izin menebang kayu dari hutan rakyat harus
dikeluarkan oleh mereka. Semakin sulitnya memperoleh kayu di wilayah ini
mengakibatkan tanaman pinus hasil penghijauan tahun 70-80an banyak ditebang
masyarakat karena nilai ekonominya yang tinggi.
Penyuluhan
kehutanan mulai aktif kembali dilakukan setelah program RHL/Gerhan bergulir
tahun 2003. Selain itu juga terdapat tenaga penyuluhan dari Dinas Peternakan,
Dinas Perkebunan dan Pertanian. Akan tetapi, sangat disayangkan penyuluhan yang
dilakukan lebih bersifat sektoral dan tidak terkoordinasi dengan baik sehingga
terlihat sering tumpang tindih dengan tujuan yang tidak jelas. Berbagai
ketidakjelasan ini mengakibatkan masyarakat menjadi apatis atas berbagai
program yang ditawarkan, sehingga dorongan untuk menghadiri kegiatan penyuluhan
lebih didasarkan atas dorongan “adanya uang transport” yang mereka terima atas
keikutsertaan mereka mengikuti penyuluhan. Ketika harapan mereka untuk
memperoleh uang pengganti tersebut tidak terpenuhi, kekecewaan mereka tersebut
akan terus tertanam yang akhirnya menimbulkan rasa antipati terhadap berbagai
program pembangunan yang ditawarkan bahkan sebagian oknum masyarakat tidak
segan-segan mencap tenaga penyuluh tersebut sebagai pembohong.***