Selasa, 27 Maret 2012

Rehabilitasi Lahan Kritis di Daerah Tangkapan Air Danau Toba : Apa yang Perlu Kita Mulai?



Perhatian terhadap kelestarian fungsi ekosistem Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba telah dimulai sejak lama bahkan sejak zaman kolonial. Berbagai upaya rehabilitasi yang telah dilakukan melalui penanaman kembali kawasan hutan (reboisasi) dan penghijauan pada lahan masyarakat menunjukkan berbagai tingkat keberhasilan dan kegagalan.
Berdasarkan interpretasi citra satelit pada tahun 1985 dan 2005 diindikasi terjadi pengurangan penutupan hutan ± 16 ribu hektar dan peningkatan lahan kritis berupa padang alang-alang sebesar ± 17 ribu hektar selama periode tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir luas lahan terdegradasi semakin meningkat dengan masih terjadinya penebangan liar, pembukaan lahan hutan, intensitas kebakaran hutan dan lahan yang tinggi dan praktek pengolahan tanah yang tidak lestari.
Belajar dari berbagai keberhasilan dan kegagalan program rehabilitasi di DTA Danau Toba, diidentifikasi bahwa rendahnya partisipasi dan kepedulian masyarakat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan.
Keberhasilan berbagai program rehabilitasi dapat dipertanyakan jika aspek peningkatan kepedulian dan partisipasi masyarakat merupakan aspek yang dinilai. Dalam prakteknya, rendahnya kepedulian masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan tercermin dari rendahnya kepedulian memelihara tanaman rehabilitasi dan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pembukaan lahan dengan pembakaran yang tidak hati-hati, dan luasnya lahan tidur.
Saat ini terdapat tidak kurang 48 ribu hektar lahan tidur dan kritis di Kabupaten Samosir atau setara dengan 77,4% luas lahan kering di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur dan kritis ini berbanding lurus dengan kemiskinan masyarakat. Pada tahun 2000 terdapat 23 % penduduk Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan lebih dari 90% menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa) selama periode tersebut. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap kelestarian hutan alam yang tersisa.
Apa Yang Perlu Kita Mulai
Untuk meningkatkan fungsi ekosistem Danau Toba sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan maka perlu dilakukan inisiasi dukungan bagi penanaman pohon pada lahan kritis berbasis masyarakat dan peningkatan inisiatif peningkatan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem DTA Danau Toba melalui pelatihan, penggalian teknik budidaya/ rehabilitasi lahan, serta alternatif pemberdayaan masyarakat lainnya.
Beberapa kegiatan yang dapat kita mulai lakukan antara lain :
a. Penanaman pohon asuh (adoption/ memorial trees)
Melalui penanaman berbagai jenis (tanaman kehutanan dan Multipurpose Trees) dengan pola pohon asuh diharapkan berbagai pihak yang peduli memberikan donasi terhadap pohon yang ditanamnya hingga tanaman tersebut mampu bertahan hidup. Donasi tersebut akan dialokasikan kepada masyarakat sebagai insentif pemeliharaan tanaman tersebut. Dalam jangka panjang pohon yang ditanam tersebut dapat menjadi pohon kenangan (memorial trees) serta areal penanaman dapat dijadikan salah satu demo plot rehabilitasi lahan. Masyarakat Batak Toba yang berada di perantauan dapat mendonasikan sekurangnya satu pohon bagi pemulihan Pulau Samosir kampung halamannya.

b. Pelatihan pembuatan kompos
Pelatihan pembuatan kompos bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pupuk kimiawi (non-organik). Dengan kondisi tanah berpasir dan berbatu, pemakaian pupuk kimiawi tidak efisien karena kemampuan ikat tanah yang rendah, selain itu harga pupuk yang mahal sangat memberatkan masyarakat. Pupuk kompos yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan tidur/kritis sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung mengurangi ketergantungan terhadap hutan dan kawasan hutan.

c. Pelatihan pembuatan persemaian
Dengan luasnya lahan kritis yang harus direhabilitasi, kebutuhan terhadap bibit tanaman sangat tinggi. Hingga saat ini, sebagian besar kebutuhan bibit tanaman rehabilitasi di DTA Danau Toba (terutama Samosir) dipenuhi dari luar kawasan ini. Kondisi ini mengakibatkan biaya tinggi dalam transportasi serta bibit stess akibat perjalanan jauh. Dengan pembangunan inisiatif persemaian sederhana masyarakat diharapkan sebagian kebutuhan bibit tanaman rehabilitasi dipenuhi dari masyarakat sendiri. Hal ini secara langsung akan menjadi alternative sumber pendapatan masyarakat. Pelatihan persemaian pada generasi muda (murid SD, SMP dan SMA) juga akan meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungannya. Sekolah juga diperkirakan dapat menjadi salah satu sentra pengadaan bibit tanaman rehabilitasi.

d. Kampanye lingkungan
Kampanye lingkungan dilakukan terhadap murid SD, SMP dan SMA melalui pendidikan lingkungan (environmental education), pemutara film, games dan lainnya. Lokasi kegiatan adalah sekolah-sekolah di Kabupaten Samosir. Pemahaman dan kepedulian yang telah ditanamkan sejak diri diharapkan dapat membantu pemulihan Danau Toba dalam jangka panjang***
Aswandi
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli

BERTANAM GAHARU :

Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Hutan

Oleh : Aswandi

Sudah gaharu, cendana pula! Sudah tahu, bertanya pula! Peribahasa tersebut sangat sering kita dengar sehari-hari. Akan tetapi tidak banyak dari kita yang tahu apakah gaharu tersebut dan darimana ia dihasilkan. Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatic (aromatic resin) yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat menghasilkan substansi aromatik ini.

Jenis-jenis pohon yang biasanya menghasilkan gaharu adalah pohon-pohon yang termasuk famili Thymelaeaceae yakni Gonystyloidae (antara lain Gonystylus spp.), Aquilarioideae (Aquilaria spp.), Thymelaeoidae (Enklea spp, serta Wikstroemia spp.), dan Gilgiodaphnoidae. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa jenis Dalbergia parvifolia (famili Leguminoceae) dan Excoccaria agolocha (Euphorbiaceae) juga dapat menghasilkan gaharu. Akan tetapi jenis yang diketahui memiliki potensi penghasil gaharu tertinggi adalah Aquilaria malaccensis atau dikenal dengan nama daerah Karas, Alim, Garu, Kompe dan lain-lain.
Penyebaran alami marga Aquilaria sangat luas mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial) yang terdapat hampir di seluruh Nusantara, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi seiring dengan maraknya illegal logging dan perburuan gaharu, pohon penghasil gaharu saat ini sangat jarang ditemui di hutan bahkan telah termasuk jenis yang hampir punah oleh CITES.

HHBK Andalan
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas sehingga digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, obat, dan sebagainya. Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal lama. Saat ini, harga gaharu kualitas super dapat mencapai Rp 5 juta per kilogram, bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna akhir. Di tingkat pengumpul di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kg.
Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2,2 juta. Namun sejak 2000 sampai akhir 2002, ekspor menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan ini disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan.

Mempertimbangkan harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan hasil hutan lainnya, gaharu dapat dikembangkan sebagai salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan alternatif untuk penyumbang devisa sektor kehutanan selain dari hasil hutan kayu.

Budidaya Gaharu : Peningkatan Kelestarian Hutan
Nilai jual gaharu yang tinggi ini seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya. Selama ini gaharu yang dipanen umumnya berasal dari pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan. Jika dahulu masih terdapat kearifan tradisional dimana untuk menjamin kelestarian pohon induknya, hanya bagian yang mengandung gaharunya saja yang ditoreh tanpa menebang pohonnya, saat ini pemanenan dilakukan dengan langsung menebang pohonnya. Akibatnya semakin sedikit pohon-pohon induk gaharu yang terdapat di alam.
Walaupun tidak seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh ini upaya peremajaan dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Bukan tidak ada penelitian yang menunjukkan besarnya peluang pengembanganya, akan tetapi akibat lemahnya publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil penelitian tersebut menyebabkan usaha pengembangan gaharu sangat jauh tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya, misalnya, jati emas atau jati super yang didengung-dengungkan akan memberikan nilai ekonomi yang cukup besar sehingga penanaman jenis ini mewabah di mana-mana, walaupun kemudian penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.
Penelitian Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan bahwa gaharu yang timbul disebabkan oleh terjadinya infeksi yang dialami pohon gaharu tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab proses infeksi, yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium., (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka pada pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan menghasilkan gaharu.
Penanaman dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan sistem monokultur, tetapi lebih disarankan dibawah tegakan seperti Sengon, Petai, Gamal, dan Mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun campuran. Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5 – 700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 6 tahun), proses inokulasi dapat dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2) menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan oli dan gula merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3 – 4 tahun kemudian.
Jumlah produksi gubal gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon dan tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Dengan jarak tanam 3 x 3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton gaharu/ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya kualitas rendah dengan harga Rp 250 - 300 ribu per kilo maka akan diperoleh pendapatan Rp 550 - 660 juta per ha. Bagaimana jika dihasilkan tersebut gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu pada pedagang pengumpul ? Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha lebih kurang 10 tahun.
Terdapat berbagai pilihan untuk menggalakkan budidaya gaharu, antara lain melalui (1) program hutan rakyat gaharu, dan (2) program hutan kemasyarakatan. Dalam program hutan rakyat, masyarakat diharapkan secara swadaya melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada lahan kosong (tidak produktif). Agar masyarakat mau menanam gaharu, selain informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu, masyarakat juga harus diberikan insentif, seperti pengadaan bibit dan inokulasi mikroorganisme penyebab gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang kemudian disalurkan kepada petani secara cuma-cuma atau dengan kredit. Dalam prakteknya pengembangan hutan rakyat gaharu ini dapat dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan.
Sedangkan penggalakan program hutan kemasyarakatan didasarkan pada paradigma pembangunan kehutanan community based development yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem hutan kemasyarakatan, masyarakat diperbolehkan menanam gaharu bersama-sama dengan tanaman pertanian dan kehutanan lainnya pada lahan hutan, salah satunya dengan sistem agroforestry.
Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan disisi lain. Selain memperoleh kesejahteraan dari tanaman gaharu dan tanaman kehutanan, masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan diantara tanaman tersebut untuk tanaman semusim. Teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat menekan laju erosi tanah sehingga juga cocok untuk menanggulangi lahan kritis.
Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu ini akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya. Tentu saja agar program penanaman gaharu ini berhasil perlu didukung dengan kelembagaan dan peraturan yang jelas, serta dukungan semua pihak. Jadi mengapa kita tidak tanam gaharu? ***

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI DTA DANAU TOBA


Oleh : Aswandi

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba sering terjadi akibat perbuatan manusia (antrophogenic fire) dan sangat jarang dipicu oleh peristiwa alam seperti petir dan panas bumi. Pola kebakaran umumnya dimulai dari pembakaran lahan untuk areal pertanian atau lahan kosong/tidur yang hanya ditumbuhi oleh rumput dan alang-alang yang kemudian merembet ke areal hutan. Tingginya tingkat kelerengan lahan yang mendominasi DTA Danau Toba dan rendahnya kepedulian masyarakat untuk mencegah perambatan kebakaran dari areal milik ke kawasan hutan mengakibatkan kerusakan vegetasi mulai dari dasar lereng hingga puncak lereng.
Ditinjau dari modus dan pola kebakaran, terdapat perbedaan kebakaran di masing-masing wilayah pengamatan yakni Samosir, Karo dan Simalungun. Kebakaran hutan dan lahan lebih ditengarai sebagai akibat pembakaran lahan kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan dan alang-alang (umumnya lahan milik) untuk mendorong pertumbuhan rumput segar untuk pakan ternak yang digembalakan secara liar. Karena dilakukan secara sembrono dan tidak diketahuinya teknik pembakaran secara terkendali (misalnya bagaimana kebakaran tersebut tidak menyebar pada arah yang tidak diinginkan), kebakaran menjadi tidak terkendali dan menghancurkan semua vegetasi yang ada hingga puncak lereng. Tingginya frekuensi kabakaran ini mengakibatkan banyak perbukitan di daerah Harian, Pangururan dan Sianjur Mula-mula di Samosir gundul dan hanya ditumbuhi rerumputan dan semak belukar. Lahan kosong alang-alang dan rumput inilah yang menjadi padang pengembalaan ternak sapi, kambing dan kerbau. Karena padang alang-alang ini merupakan bahan bakar yang rentan kebakaran, kebakaran kecil yang dapat hanya dipicu oleh puntung rokok dalam memicu kebakaran lahan dan hutan. 
Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Simalungun dan Karo lebih diakibatkan pembakaran dalam pembukaan lahan yang juga merembet ke kawasan hutan. Dengan rata-rata kecepatan yang angin yang tinggi, pembakaran lahan pertanian ini merembet dengan cepat. Pembakaran lahan dengan tujuan mendorong pertumbuhan rerumputan baru hampir tidak terdapat di wilayah ini. Tetapi, juga disinyalir bahwa terjadinya kebakaran pada sebagian kawasan hutan di wilayah ini dilakukan sebagai salah satu modus untuk penguasaan lahan. Tidak seperti halnya lahan tidur yang banyak terdapat di Samosir, sebagian besar lahan telah diusahakan (bahkan secara intensif) di Karo dan Simalungun. Tingginya kebutuhan lahan ini mendorong masyarakat mencari lahan baru yakni kawasan hutan dengan menduduki lahan-lahan hutan bekas kebakaran yang luasan kecil pada mulanya dan apabila tidak ada control dari aparat kehutanan lama-lama lahan yang diokupasi semakin luas.
Terjadinya kebakaran lahan dan hutan akibat pembakaran padang alang-alang telah terjadi cukup lama. Tidak ada informasi otentik kapan hal ini mulai terjadi. Tetapi, peristiwa kebakaran mulai sering terjadi ketika norma-norma adat mulai luntur ketika Indonesia merdeka (hukum formal lebih dominan), dan kejadian ini menjadi semakin sering terjadi setelah tahun 80-an ketika industri kehutanan masuk ke wilayah ini dan melakukan penebangan hutan (pinus) dalam skala besar. Penebangan pinus ini tidak saja mendorong kecemburuan masyarakat juga berdampak pada semakin menurunnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan ekosistem Danau Toba.
Lokasi kebakaran di Samosir (terutama di daerah Harian, Pangururan dan Sianjur Mula-mula) terjadi di lahan milik dan kawasan hutan. Umumnya pembakaran sengaja dilakukan bermula pada lahan milik (umumnya lahan tidur) yang kemudian merembet ke kawasan hutan. Karena vegetasi hutan yang ada didominasi oleh pinus yang banyak menghasilkan serasah di lantai hutan, api yang merembet tersebut turut membakar lantai hutan (kebakaran horizontal) yang akhirnya juga membakar tajuk pohon (crown fire). Sangat jarang oknum masyarakat langsung melakukan pembakaran di kawasan hutan karena pada umumnya masyarakat masih takut terhadap aparat kehutanan. Bahkan pembakaran padang alang-alang pada lahan milik sekalipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi dimana pemicu kebakaran menggunakan obat nyamuk dan korek api. Setelah waktu tertentu obat nyamuk membakar korek api yang menimbulkan api sehingga terjadi kebakaran.
Kebakaran hampir terjadi sepanjang tahun, tetapi intensitas yang tinggi terjadi pada musim-musim kemarau pada Juli – September. Tidak ada alat khusus yang digunakan untuk melakukan pembakaran pada saat pembukaan lahan. Petani umumnya hanya membuat sekat bakar, menebang pohon-pohon atau vegetasi yang berukuran cukup besar dan dengan 1 – 3 orang yang mengendalikan penjalarannya.
Pola kepemilikan ternak di Samosir umumnya dimiliki oleh keluarga besar/marga sehingga hal ini juga mengakibatkan sulitnya meminta pertanggung-jawaban apabila sekawanan ternak liar mencari pakan atau merusak tanaman petani lain (bahkan pihak yang disalahkan bukanlah peternak yang tidak mengembalakan ternaknya tetapi petani yang tidak memagar kebunnya). Juga menjadi pola yang umum jika para pemilik ternak menyerahkan kegiatan pengembalaan ternaknya kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (dari hasil penjualan ternak atau dari jumlah anak ternak yang dihasilkan). Pada daerah-daerah dengan kegiatan pertanian yang lebih maju seperti di Simanindo, ternak telah dikandangkan pada musim-musim tertentu seperti musim bertani dan pada musim lainnya digembalakan pada lahan pertanian (biasanya diikat). Sedangkan di daerah lainnya di Samosir yang kegiatan pertaniannya belum intensif, ternak dilepaskan pada musim-musim kemarau dan baru digembala pada musim bercocok tanam.
Seperti halnya streotif bahwa masyarakat Samosir bukanlah petani tetapi pekebun, tidak ada masyarakat yang betul-betul bekerja sebagai peternak. Hampir tidak ditemukan teknik-teknik bertani dengan alokasi waktu yang banyak di ladang dan lebih intensif seperti halnya di Jawa. Tidak adanya sistem pengairan mengakibatkan kegiatan bertani di Samosir mengandalkan curah hujan.
Karena tidak ada masyarakat yang betul-betul bekerja sebagai peternak, alokasi waktu untuk mengembalakan atau mencari pakan ternak tidak banyak. Umumnya masyarakat yang memiliki ternak, melepaskan ternaknya pada pagi hari dan mengumpulkan (atau mengandangkannya) pada sore hari. Dengan demikian petani tersebut dapat mengerjakan pekerjaan lainnya di ladang atau kebun. Berdasarkan wawancara dengan Dinas Peternakan, rendahnya kesadaran untuk mengkandangkan ternaknya didorong oleh masih rendahnya harga ternak akibat biaya transportasi yang tinggi di Samosir dan kurangnya penyuluhan. Karena pakan yang dimakan ternak tidak bergizi, kandungan daging/ protein kerbau lebih rendah dibandingkan ternak dari wilayah lainnya.  Walaupun memiliki jumlah ternak yang cukup banyak, para pemilik belum menganggap usaha peternakan sebagai usaha yang menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian.
Kegiatan pengembalaan ternak umumnya dilakukan oleh anak-anak dengan jumlah ternak yang digembalakan dapat mencapai 5 – 10 ekor kerbau atau sapi, dan jumlah ternak hingga 20 ekor kambing. Setelah anak-anak tersebut melepaskan ternaknya di pagi hari dan setelah pulang sekolah di sore hari baru mengembalakan dan mengandangkannya. Tetapi, pembakaran lahan alang-alang diperkirakan tidak dilakukan oleh anak-anak gembala ini, karena dari pengakuan mereka cukup takut melakukannya (dimungkinkan oleh orang dewasa). Apabila diperkirakan pakan rumput yang ada telah mau habis, maka dilakukan pembakaran padang dan mendorong pertumbuhan rumput dalam satu minggu berikutnya.
Kebakaran yang diakibatkan oleh alam seperti akibat petir jarang terjadi. Kebakaran akibat faktor alam terjadi akibat panas bumi (daerah hot spring) di daerah desa Aek Rangat Kecamatan Sianjur Mula-mula (tidak jauh dari Pangururan). Karena sumber air panas terdapat di pertengahan lereng, kebakaran yang terjadi dapat merembet hingga puncak bukit. Masyarakat tidak memiliki kepercayaan tertentu yang mentoleransi adanya kebakaran hutan secara alami. Pada daerah-daerah pertanian, sebagian masyarakat masih memiliki kepercayaan melakukan pembakaran ladang untuk mengundang hujan, terutama jika musim kemarau telah berlangsung cukup lama.
Kebakaran berulang tidak saja meningkatkan kekritisan lahan juga mengakibatkan banyak program rehabilitasi mengalami kegagalan. Kebakaran mematikan tanaman rehabilitasi yang ditanam sebelum tanaman tersebut membentuk penutupan tajuk yang dapat mengurangi resiko kebakaran. tercatat 1.064 hektar lahan kritis yang direhabilitasi di Kabupaten Toba Samosir pada periode 2004 – 2005 terbakar. Sebagian besar kebakaran (93,2%) terjadi pada kawasan hutan (reboisasi).
Hasil evaluasi keberhasilan penanaman Gerhan oleh Badan Litbang Kehutanan terhadap di Sumatera Utara mencatat luas lahan yang direhabilitasi pada tahun 2003 dan 2004 yang mengalami kebakaran seluas 1.457 hektar dalam kawasan hutan (reboisasi) dan 182 hektar pada hutan rakyat. Dengan kondisi tanaman rehabilitasi yang umumnya tidak terpelihara dengan baik, tidak adanya sekat bakar hijau dan jalur kuning (batas blok tanaman yang bersih/ bebas bahan bakar) terutama pada kegiatan reboisasi, peluang kegagalan penanaman akibat resiko kebakaran terutama pada musim kemarau sangat tinggi.
Walaupun kejadian kebakaran hutan dan lahan sangat sering terjadi, belum terlihat upaya serius untuk mengatasinya. Apabila terjadi kebakaran lahan yang merembet ke kawasan hutan (terutama di Samosir) hampir tidak ada kepedulian masyarakat untuk memadamkannya sehingga kebakaran tersebut berhenti setelah bahan bakar yang ada habis. Penyuluhan mengenai kebakaran hutan dari pemerintah dan LSM sudah pernah dilakukan terutama dalam program Gerhan, tetapi pola dan perilaku masyarakat ini belum berubah. Disinyalir (menurut pengakuan sebagian masyarakat), penyuluhan yang dilakukan atau diikuti oleh masyarakat karena ada “uang” dengan menghadiri kegiatan tersebut.

AGROFORESTRY DI DANAU TOBA


Oleh : Aswandi


Pemilihan Jenis
Pada beberapa tempat di Simalungun dan Karo pola-pola agroforestry (wana tani) telah di praktekkan sejak lama. Di beberapa desa tua di Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, petani telah menanam kopi (Coffea robusta), jagung (Zea mays), cengkeh, kulit manis (Cinnamomum sp), ingul/suren (Toona chinensis), durian (Durio zibethinus) dan kemiri  (Aleiritus moluccana) pada suatu bentang lahan. Sedangkan di beberapa tempat di Karo (misalnya Kecamatan Merek), masyarakat menanam cabe diantara tanaman kopi serta memagari tanaman mereka dengan lantoro/kemlandingan atau macadamia sebagai sekat bakar. Sekat bakar tersebut juga berfungsi sebagai batas lahan milik mereka.
Apabila dibandingkan, terdapat sedikit perbedaan jenis tanaman yang ditanam di daerah Simalungun, Karo dan Samosir. Karena di daerah Simalungun (terutama) di sekitar Danau Toba  memiliki kelerengan lebih tinggi, jenis-jenis tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kulit manis, kemiri, MPTs seperti durian dan suren sebagai tanaman kehutanan lebih disukai ditanam. Dengan harga yang cukup baik, tanaman kopi menjadi andalan masyarakat di wilayah ini. Sedangkan kulit manis, kemiri dan durian lebih sebagai hasil sampingan dan kayu ingul sebagai tabungan mereka. Kayu ingul sangat disukai karena dapat digunakan sebagai bahan perumahan dan kapal, kerajinan ukiran serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada beberapa lokasi yang lebih datar seperti di Kecamatan Purba, masyarakat Simalungun juga telah menanam tomat, cabe, dan berbagai holtikultur lainnya secara intensif.
Dengan pola yang lebih intensif, praktek pertanian di Kabupaten Karo jauh lebih maju dibandingkan Simalungun dan Samosir sehingga telah menjadi sentra sayur-sayuran andalan di Sumatera Utara. Produk pertanian dari wilayah ini seperti jeruk, tomat, cabe, lobak/kol, sawi, dan beberbagai hortikultura lainnya dipasok ke provinsi tetangga seperti NAD dan Riau bahkan ke Jawa dan Singapura. Dengan pola yang lebih intensif dan  mengandalkan pupuk anorganik dan organic, pola tanaman campuran multistrata relatif tidak banyak dipraktekkan masyarakat. Umumnya masyarakat hanya menanam suren, lantoro/kemlandingan dan makadania sebagai sekat bakar atau batas wilayah. Jikapun ada masyarakat lebih menyenangi tanaman kopi yang ditanam diantara bedengan mulsa tanaman cabe atau tomat.
Dibandingkan Karo dan Simalungun, praktek bertani masyarakat Samosir lebih tertinggal. Walaupun demikian, praktek wana tani juga telah dikenal masyarakat. Di Simanindo, masyarakat menanam tanaman kemiri, kopi, suren, mangga parapat, dan nangka diantara tanaman pertanian mereka seperti jagung. Tanaman kemiri dan kopi sangat disukai karena buah yang dipanen dapat bertahan lama sehingga dapat dijual ketika harga sedang tinggi. Pohon nangka dan mangga parapat sesungguhnya sangat disukai masyarakat tetapi karena selain menghasilkan buah yang bernilai ekonomi baik, jenis ini juga sangat disenangi sebagai bahan baku kerajinan patung, penebangan kayu ini tidak dapat dihindari. Sayangnya sangat sedikit usaha-usaha yang telah dilakukan untuk meregenerasi jenis mangga parapat dan nangka. Saat ini sebagian besar ‘merek’ mangga parapat yang diperdagangkan bukanlah berasal dari pulau Samosir atau daerah Parapat sendiri melainkan dari daerah Perbaungan (Serdang Bedagai). Apabila tidak ada usaha-usaha untuk menanam kembali mangga parapat dan nangka kedua jenis ini akan semakin langka di Samosir.
Dengan harga yang baik, pemasaran yang mudah, tanaman kopi ateng (dahulunya berasal dari daerah Aceh Tengah – Gayo) yang berumur pendek yakni pada umur 2 tahun telah dapat dipanen hingga berumur 10 tahun sangat disukai masyarakat sehingga mulai secara sporadic ditanam masyarakat di Simalungun, sebagian Karo dan Samosir. Dengan luas lahan hanya 20 m x 20 m (1 rantai dalam sistem lahan batak) setiap bulan rata-rata dapat dipanen beberapa kaleng biji kopi kering atau setera dengan harga 1-2 juta rupiah. Tidak banyak biaya yang dikeluarkan karena pemupukan dapat dilakukan dengan pupuk organik dari kotoran kerbau yang banyak dipelihara masyarakat. Sedangkan waktu yang tersita tidak terlalu banyak kecuali untuk membersihkan gulma dan pemanenannya. Pada permulaan tanaman kopi ditanam di Samosir banyak petani yang mengalami kegagalan akibat kesembronoan memanen kopi. Pada saat itu biji kopi dipanen tidak dengan dipetik biji per biji tetapi lebih disentak sehingga juga merontokkan buah bakal biji yang terdapat di ujung ranting.
Berdasarkan wawancara dengan petani, jenis kopi ini juga disukai karena tidak diperlukan tenaga yang besar untuk memeliharanya sehingga sangat jarang ditemui kaum laki-laki di ladang kopi di Samosir. Bahkan ada ungkapan ‘tabu’ untuk mengetahui berapa harga kopi di pasaran oleh kaum laki-laki karena urusan memanen dan menjual kopi tersebut merupakan urusan perempuan. Peran laki-laki di kebun kopi hanya pada saat kebun tersebut dibangun yakni saat pembukaan lahan, pembuatan lubang tanam dan penanaman.
Disukainya beberapa jenis tanaman ini oleh masyarakat lebih atas kesadaran sendiri. Karena pada umumnya masyarakat Batak (terutama Batak Karo) memiliki budaya suka meniru keberhasilan orang lain, maka praktek-praktek bertani di tempat lain yang dicobakan dan berhasil oleh beberapa orang terdahulu kemudian menyebar luas di masyarakat. Menurut masyarakat, terutama di Samosir sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan pemerintah maupun LSM untuk mendorong keberhasilan sector pertanian mereka. Beberapa tahun terakhir terdapat lembaga luar negeri yang mengembangkan jenis kemiri dan vanili di Samosir, akan tetapi karena tata niaga kemiri tidak dibangun dengan baik (terutama akibat biaya transportasi yang tinggi) kegiatan ini akhirnya tidak berlanjut.

Pembagian Waktu
Gender sangat nyata dalam praktek pertanian di wilayah pengamatan terutama di Samosir. Apabila kita mengitari pulau Samosir dari Tomok (Simanindo) menuju Ambarita, Simarmata, Pangururan, Palipi, Nainggolan dan Onan Runggu sangat jarang kita temui kaum lelaki di ladang dan kebun pada siang – sore hari. Di kebun kopi, sawah, ladang sering kita temui kaum perempuan menyiangi tanaman, merawat tanaman memanen kopi, dan berbagai pekerjaan lainnya. Sedangkan kaum laki-laki lebih banyak ditemui di kedai kopi atau lapo tuak menghabiskan waktu mengobrol menghabiskan waktu membicarakan berbagai hal.
Secara sepintas, pembagian waktu seperti ini tentu tidak seimbang dan memberatkan pihak perempuan. Akan tetapi apabila kita amati lebih jeli, terdapat pola pembagian waktu antara kaum laki-laki dan perempuan di ladang/kebun. Umumnya para petani terutama kaum lelaki ke ladang mulai ketika matahari sedikit naik dari ufuk (jam 6 pagi) dan mengerjakan pekerjaan yang cukup berat seperti mencangkul, membajak lahan, dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga fisik lainnya. Setelah matahari cukup tinggi, kaum lelaki ini kemudian beristirahat atau mengerjakan pekerjaan lainnya (terutama yang langsung menghasilkan uang) seperti menjadi buruh angkut di pasar, menarik becak, pembuat rumah, penebang pohon, membuat kapal, mengukir dan sebagainya. Pada masa istirahat inilah kaum laki-laki banyak ditemui di kedai kopi/ lapo tuak.
Kaum perempuan memulai aktivitasnya setelah matahari terbit untuk menyiapkan segala keperluan keluarga di rumah. Setelah menyiapkan dan meninggalkan bekal sarapan dan makan siang untuk anggota keluarga lainnya, kaum perempuan menyusul kaum laki-laki (suami) ke kebun dan ladang. Setelah bekerja beberapa saat bersama, sekitar jam 7-8 pagi istirahat sarapan pagi dengan bekal yang dibawa kaum perempuan dari rumah. Setelah hari cukup tinggi dimana kaum laki-laki meninggalkan kebun/ladang untuk istirahat dan bekerja di tempat lain, kaum perempuan tetap tinggal di ladang hingga sore hari mengerjakan pekerjaan merawat tanaman dan memanennya. Bahkan pada beberapa tempat di Samosir, pekerjaan menjual hasil panen seperti kopi dan sayur mayur dianggap merupakan pekerjaan perempuan. Bahkan menjadi hal yang tabu apabila seorang lelaki mengetahui harga pasar dari hasil pertanian tersebut.
Walaupun tidak terlihat menyolok seperti halnya di Samosir, alokasi waktu kaum perempuan juga lebih banyak di kebun dan ladang dibandingkan kaum laki-laki di Karo dan Simalungun. Akan tetapi karena praktek pertaniannya lebih intensif, kaum laki-laki juga banyak ditemui menyemprot tanaman dengan zat kimia dan mendorong traktor dan memanen kol, kentang dan wortel. Alokasi waktu di ladang kaum laki-laki di kedua lokasi ini lebih besar dibandingkan Samosir. Tidak terlalu banyak kita temui kaum lelaki di lapo tuak/ kedai kopi di sepanjang jalan dari Parapat (Simalungun) – Merek (Karo), bahkan intensitas yang lebih rendah terdapat di Karo.
Alasan-alasan ekologi masyarakat menanam tanaman berkayu pada lahan milik mereka tidak bisa banyak digali karena sebagian besar penanaman pohon lebih didasarkan atas kepentingan ekonomi (tabungan). Tidak seperti di derah Dairi dan Pakpak Bharat yang didominasi hutan lindung dengan karakteristik lahan dengan solum yang lebih tebal sehingga apabila terjadi perubahan/ keterbukaan lahan yang cukup besar dapat mengakibatkan bencana longsor, jarang sekali terjadi peristiwa tanah/batu longsor di daerah pinggir Danau Toba di Simalungun, Karo dan Samosir yang memiliki ketebalan tanah yang tipis dan struktur bebatuan yang cukup kompak (gunung cadas). Jarangnya peristiwa tanah longsor bahkan banjir ini juga diduga mengakibatkan masyarakat tidak begitu peduli sebetulnya terhadap usaha-usaha menanam pohon sebagaimana masyarakat di wilayah lain yang sering mengalami bencana erosi dan banjir. Akan tetapi, terdapat kesadaran untuk tidak menebang pepohonan yang berada di hulu mata air di ketiga lokasi ini. Karena umumnya masyarakat di Pematang Sidamanik – Simalungun hidup di sekitar alur-alur (sungai kecil) di lereng-lereng bukit di sekitar Danau Toba, larangan menebang pohon dengan alasan akan mengurangi sumber air masih dipatuhi masyarakat.

Teknik Pengolahan Tanah
Karena terbatasnya areal pertanian pada wilayah dengan topografi datar, masyarakat juga bercocok tanam pada daerah-daerah lereng di sekitar Danau Toba. Di sekitar danau yang umumnya berupa lahan basah, masyarakat bercocok tanam padi sawah walaupun tidak dengan pengairan teknis. Pada wilayah yang lebih dataran yang kering di sekitar danau masyarakat bercocok tanam cabe, tomat, bawang merah dan sayur-sayuran. Wilayah ini cukup subur (endapan cukup tebal) karena merupakan wilayah endapan dari erosi lereng yang terdapat di sekitarnya. Wilayah persawahan di sekitar danau banyak terdapat di kecamatan Simanindo dan Sianjur Mual-mula (Limbong Sagala) di Samosir dan Sipolha Pematang Sidamanik di Simalungun. Sedangkan areal persawahan jarang terdapat di Karo. Tanaman kemiri juga banyak ditanam di lembah di sekitar danau di Samosir.
Di daerah Pangururan dan sekitarnya areal persawahan terdapat di sekitar danau hingga sedikit lebih masuk ke dalam pulau. Untuk mengairi areal persawahan tersebut belum terbangun irigasi teknis sehingga masih mengandalkan curah hujan. Sulitnya memeroleh pengairan ini juga membatasi usaha-usaha pengembangan pertanian di Samosir. Dapat diibaratkan pulau Samosir ini sebagai pulau kering ditengah lautan air padahal juga terdapat dua buah danau diatas pulau dan ratusan air terjun dan alur-alur sungai di celah-celah bukit.
Pada wilayah yang lebih berlereng masyarakat umumnya menanam kopi, cengkeh dan kayu manis serta tanaman kehutanan seperti suren dan petei. Di wilayah ini, masyarakat memperoleh air dari mata air yang dialirkan dengan pipa atau bambu ke wilayah pertanian masyarakat (terlihat di Pematang Sidamanik Simalungun). Pada lereng-lereng yang dilewati alur-alur sungai sangat disukai masyarakat untuk areal pertanian dan perkebunan. Lahan ini dahulunya diperkirakan merupakan areal hutan marga yang dibuka untuk perladangan dengan rotasi bera beberapa tahun.
Di sepanjang kawasan hutan lindung di daerah Pematang Sidamanik (Simalungun) terutama yang berada di pinggir jalan, banyak ditemukan praktek penanaman kopi di bawah tegakan tusam yang telah masuk kawasan hutan. Masyarakat menanam kopi hingga jarak 20 meter ke dalam kawasan dengan perjanjian tertentu dengan pihak Dinas Kehutanan untuk menjaga hutan yang berada di atasnya. Skim ini cukup mampu mengurangi gangguan hutan, dimana terdapat indicator kepedulian masyarakat secara tidak langsung menjaga hutan dengan menjaga tanaman kopi di sekitar hutan dari penjalaran kebakaran lahan di bawahnya.

Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan dan teknik bercocok tanam masyarakat umumnya diperoleh secara turun temurun. Hanya segelintir petani yang mempraktekkan ilmu pertanian yang diperoleh dari pelatihan petani yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Ilmu pertanian yang paling diminati adalah budidaya jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti vanili, kopi dan hortikultura. Sedangkan penanaman tanaman kehutanan dilakukan dengan teknik yang sama dengan tanaman lainnya oleh masyarakat.
Bibit kopi umumnya diperoleh masyarakat dengan membibitkan sendiri sehingga umumnya kualitas bibit rendah. Sedangkan bibit sayur-sayuran diperoleh dari pembuatan sendiri jadi tanaman F1 sehingga kualitasnya juga semakin menurun. Penggunaan bibit unggul jarang digunakan karena harganya relative mahal. Bibit tanaman kehutanan seperti ingul umumnya diperoleh dari cabutan alam yang tumbuh di sekitar pohon induknya.
Kegiatan bercocok tanam umumnya dimulai dengan kegiatan pembukaan lahan pada musim kemarau sehingga bibit dapat ditanam pada awal musim hujan. Karena tidak dilakukan dengan intensif, petani di Samosir tidak begitu banyak mengeluarkan biaya untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan. Sebaliknya, intensifikasi pertanian sudah dipraktekkan di Karo dan sebagian Simalungun sehingga berita kurangnya pasokan pupuk (organic dan anorganik) sering menghiasai media cetak daerah terutama pada musim tanam. Kurangnya penggunaan bibit unggul juga mengakibatkan produksi tidak tinggi dan rentan terserang hama dan penyakit tanaman.
Kendala kesuburan tanah yang rendah umumnya dihadapi petani di Samosir terutama pada lahan-lahan yang terdapat di lereng dan di atas bukit. Kesuburan yang rendah ini dapat diakibatkan oleh sifat fisik tanah yang didominasi pasir berbatu dengan kandungan liar yang sangat rendah. Karakteristik ini mengakibatkan kemampuan mengikat hara sangat rendah. Karena kurangnya penyuluhan yang diterima, sebagian besar petani malahan menggunakan pupuk cair dan butiran yang mudah terlarut sehingga cepat sekali terjadi pelindian. Walaupun telah berulang kali dilakukan pemupukan, produktivitas tanah tetap tidak dapat ditingkatkan dan pupuk tersebut malah larut melalui aliran run-off yang kemudian terkumpul di daerah pantai di sekitar danau dan mencemari perairan. Oleh karena itu diperlukan kajian khusus tentang tanah dan teknik pemupukan yang tepat misalnya dengan menggunakan pupuk organic dan PMLT (Pupuk Majemuk Lepas Terkendali).
Penyakit dan hama yang menyerang umumnya pada tanaman cabe dan tomat. Tidak digunakan bibit unggul, obat-obatan yang kurang dan dengan dosis yang kurang atau melebihi mengakibatkan usaha pencegahan penyakit kurang berhasil dilakukan. Pada beberapa petani, akibat kurangnya penyuluhan masih ditemui praktek mencampur herbisida dan pupuk dalam satu kali penyiraman atau sekurang-kurangnya tidak membersihkan tanki semprotan dari senyawa lain sebelum memasukkan jenis pupuk yang baru sehingga memberikan dampak yang merusak bagi tanaman.
Untuk mengendalikan serangan hama petani juga melakukannya secara mekanis yakni dengan mencabut atau mematikan tanaman yang terserang hama dan penyakit. Ketika penyakit kutu dan belalang menyerang tanaman cabe dan tomat masyarakat memusnahkan tanaman mereka agar tidak menular ke tempat lain. Sama halnya dengan penyakit busuk batang dan akar yang menyerang tanaman jeruk di Karo sehingga masyarakat harus memusnakan tanamannya dalam beberapa waktu.
Di wilayah Karo dan sebagian Simalungun yang telah maju pertaniannya, para pedagang pengumpul langsung membeli hasil panen ke ladang-ladang atau pada tempat-tempat pengumpulan hasil panen. Di wilayah ini informasi harga dapat diketahui oleh semua petani sehingga resiko hasil panen dijual dengan harga rendah di bawah harga pasar dapat dihindari. Transportasi yang lancar dan jarak yang tidak jauh dari konsumen (Medan, Pematangsiantar dan kota-kota di sekitarnya) mengakibatkan harga hasil panen yang dijual cukup bersaing. Sebaliknya, masalah transportasi menjadi kendala utama dalam memasarkan produk pertanian di Samosir. Sangat jarang terdapat moda transportasi yang dapat digunakan untuk mengangkut hasil pertanian di Samosir  baik di dalam wilayah maupun membawanya ke luar wilayah. Tingginya biaya transportasi ini mengakibatkan margin keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil. Apabila dibandingkan dengan sentra-sentra pertanian di Simalungun dan Karo, produk pertanian dari Samosir kurang dapat bersaing sehingga menjadi diinsentif bagi petani Samosir mengusahakannya (apalagi kesuburan tanah rendah). Selama ini harga hasil panen pertanian lebih ditentukan oleh para pedagang pengumpul (cukong) yang memiliki alat transport sendiri mengangkut hasil panen tersebut.

Lahan Pertanian dan Hutan
Kegiatan bercocok tani masyarakat umumnya dilakukan pada lahan milik dan terdapatnya areal kawasan hutan Negara yang dipakai untuk lahan pertanian masyarakat bersifat kasuistik (terutama pada areal-areal yang telah mengalami konflik sejak lama – misal di daerah Girsang Sipangan Bolon, Pematang Sidamanik). Belum dikumpulkan data berapa luasan hutan yang telah digunakan untuk tanaman kehutanan dan pertanian – kecuali ribuan hektar hutan produksi digunakan sebagai areal HTI Ekaliptus.
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2005 (BPS, 2005), luas lahan tidur yang terdapat di Kabupaten Samosir mencapai 48 ribu hektar atau setara dengan 77,4% dari luas lahan kering yang ada di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur ini memiliki korelasi positif dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % dari jumlah penduduk Kabupaten Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan lebih dari 90% menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa) selama periode tersebut. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap kelestarian hutan alam yang tersisa.
Umumnya lahan tersebut kosong karena jumlah tenaga kerja yang terbatas, produktivitas lahan yang semakin menurun karena telah dikelola berulang kali sedangkan pemulihan unsur hara melalui pemupukan jarang dilakukan. Di daerah Penguruan dan ronggur nihuta lahan kosong ini digunakan sebagai padang pengembalaan ternak.
Terjadinya konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah (konflik vertika) dan konflik antara marga dan dalam marga/keluarga (konflik horizontal) turun mendorong meluasnya lahan tidur. Konflik antar marga terjadi terutama antar lahan marga yang bersebelahan yang memiliki sejarah sengketa lahan yang sejak lama. Akan tetapi konflik lahan antar marga ini jarang terjadi. Sedangkan konflik antar keluarga dalam satu marga umumnya terjadi akibat kecemburuan anggota marga yang telah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari nafkah di wilayah lain atas penguasaan lahan marga oleh anggota keluarga (marga) yang masih mendiami dan mewarisi lahan nenek moyangnya.
Konflik akan semakin meruncing apabila anggota keluarga yang masih berdiam di kampung halaman adalah anak perempuan yang telah bersuami. Karena pola pewarisan lahan marga/kelaurga melalui garis keturunan anak laki-laki, pengelolaan lahan oleh suami anak perempuan tersebut dapat memancing konflik akibat kekhawatiran penguasaan lahan dan pembagian keuntungan dari pengolahan lahan tersebut. Kecemburuan tersebut pada tingkat tertentu dapat memancing perpecahan keluarga dan atau mengakibatkan masyarakat yang berada di kampung halaman mengalami kesulitan untuk mengakses dan mengolah lahan marga mereka tersebut sehingga menjadi terlantar. Semakin lemahnya kontrol dan pengakuan terhadap hukum adat mengakibatkan konflik antar keluarga dalam satu marga ini menjadi berlarut-larut dan sulit dipecahkan sehingga menjadi disinsentif bagi masyarakat yang hidup dari sector pertanian yang banyak terdapat di pedalaman Samosir.

Patner Petani Lokal
Secara sederhana pola-pola kerjasama dalam bercocok tanam sudah terdapat dalam masyarakat tradisional Batak di Samosir. Para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya akan menyewakan lahan pertanian mereka dengan pembagian hasil 50 : 50 dengan petani penggarap. Petani penggarap menyediakan semua sarana produksi pertanian.
Pada sistem pertanian yang lebih intensif dimana permodalan untuk mencukupi sarana produksi pertanian dibutuhkan lebih besar, kredit usaha tani telah berkembang di Karo. Banyak ditemui kelompok-kelompok tani yang ikut serta dalam koperasi dan meminjam uang di Bank untuk mencukupi modal mereka. Di wilayah Karo juga banyak ditemui pendamping/ penyuluh yang berasal dari industry pupuk dan sarana pertanian yang juga memberikan penyuluhan pertanian dalam memasarkan produk mereka. Pendamping dari Industry pertanian ini juga membantu masyarakat dalam pengadaan bibit, penyiapan lahan tanaman hingga pengendalian hama penyakit dan pemasaran hasil panen. Apabila para petani setia dengan produk pupuk dan obat-obatan dari industry tersebut, pendampingan dilakukan lebih intensif.
Berdasarkan pengalaman masyarakat, peran pemerintah tidak banyak dalam pemasaran produk pertanian. Khusus untuk tanaman kehutanan, setelah pemerintah daerah melarang penebangan kayu pinus di Simalungun dan Samosir sangat sulit ditemui kayu pinus di pasaran. Akan tetapi aturan ini menguatkan peran instansi kehutanan (Dinas Kehutanan) di daerah dimana setiap izin menebang kayu dari hutan rakyat harus dikeluarkan oleh mereka. Semakin sulitnya memperoleh kayu di wilayah ini mengakibatkan tanaman pinus hasil penghijauan tahun 70-80an banyak ditebang masyarakat karena nilai ekonominya yang tinggi.
Penyuluhan kehutanan mulai aktif kembali dilakukan setelah program RHL/Gerhan bergulir tahun 2003. Selain itu juga terdapat tenaga penyuluhan dari Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan dan Pertanian. Akan tetapi, sangat disayangkan penyuluhan yang dilakukan lebih bersifat sektoral dan tidak terkoordinasi dengan baik sehingga terlihat sering tumpang tindih dengan tujuan yang tidak jelas. Berbagai ketidakjelasan ini mengakibatkan masyarakat menjadi apatis atas berbagai program yang ditawarkan, sehingga dorongan untuk menghadiri kegiatan penyuluhan lebih didasarkan atas dorongan “adanya uang transport” yang mereka terima atas keikutsertaan mereka mengikuti penyuluhan. Ketika harapan mereka untuk memperoleh uang pengganti tersebut tidak terpenuhi, kekecewaan mereka tersebut akan terus tertanam yang akhirnya menimbulkan rasa antipati terhadap berbagai program pembangunan yang ditawarkan bahkan sebagian oknum masyarakat tidak segan-segan mencap tenaga penyuluh tersebut sebagai pembohong.***

REHABILITATION OF CRITICAL LAND :


Experience from Enrichment Planting on Bushes and Imperata land
 in Sialiali, South Tapanuli North Sumatra

By :
Aswandi dan Rusli MS Harahap
Forest Research Institute of Aek Nauli in North Sumatra.
Jl. Raya Parapat Km 10,5 Sibaganding Parapat Sumatara Utara. Email : andiasw@yahoo.com


Abstract

During 2003 – 2007 period, more than 40 species were planted on different land cover in Siali-ali South Tapanuli. Endemic and exotic-past-growing species were planted on imperata grassland, under canopy of past-growing plantation and enrichment planting on bushes and young secondary forest. Height and diameter measurement indicated that land cover types were influenced the plant growth. Exotic-past-growing species i.e. Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth and Eucalyptus urophylla ST. Blake were grew well on open site i.e. imperata grassland and bushes, but endemic species i.e. Shorea platyclados V.Sl, and S. ovalis Bl have good performance in diameter and height growth on more closed-vegetation area i.e. young secondary forest. Dryobalanops aromatica Gearth plantation where their seedling originaly from Natal North Sumatra on bushland showed good performance in diemeter and height growth. Average of height trees at three years old plantation were 160 centimeters. Enrichment plantation with Shorea pinanga Scheff seedlings at 10 years old Acacia crassicarpa stand were indicated good adaptability this species under fast-growing species canopy which average of height were reached 80 centimeters in two years plantation. There were significant different between growth of Anisoptera costata Roxb. dan Shorea ovata Dyer at 10 years old plantation in secondary forest and bushes. Average of diameter and heigh S. ovata that planted under young secondary forest canopy were smaller (only 0.5 centimeters and 0.5 meters) as compared to their plantation in bushes (7.4 centimeters and 13.68 meters). More significant difference were showed by A. costata plantation. Average of diameter were 12.75 centimeters in bushes but only 0.62 centimeters under young forest canopy. Average of diameter and height A. costata were attainded 12.8 centimeters and 16.50 meters which planted on bushes.

Keywords: enrichment planting, indigenous species, exotic fast-growing species, secondary forest, imperata land, bushes

MODEL ANALISIS SISTEM DINAMIKA PERTUMBUHAN DAN PENGATURAN HASIL HUTAN RAWA BEKAS TEBANGAN DI RIAU


 (Analytical System Model of Growth Dynamic and Yield Regulation
for Logged-over Swamp Forest in Riau)
Oleh/By :
Aswandi

Abstract

This study was aimed to build model of stand structure dynamic and yield regulation for logged-over uneven-aged swamp forest in Riau Province. Dynamic model of stand structure was developed based on a series data of permanent sampling plot and yield regulation method which was developed based on system analysis model approach. Logged-over natural forest in the concession area of PT. Diamond Raya Timber, Riau Province was selected for analysing the stand structure dynamic which consists of ingrowth, upgrowth and mortality functions. The model was constructed based on species group (Dipterocarpaceae, Non-Dipterocarpaceae and Non-Commercial). The result indicated that silviculture treatments (thinning and liberation) increased stand diameter. Average diameter increment in 3-10 years after timber cutting at permanent plot with silvicultural treatment was 0,43 cm/year and 0,37 cm/year wihout treatments. The result of simulation showed that cutting cycle 35 years decreased the Number of trees for cutting and unsustainable. The increasing of cutting cycle up to 40 years or the decrease diameter cutting limit to 40 cm was an alternative of yield regulation for sustainable yield management.
Keywords : model, stand structure, logged-over forest, analytical system, yield regulation

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model analisis sistem dinamika struktur tegakan dan pengaturan hasil hutan rawa tidak seumur di Riau. Model disusun berdasarkan pada seri data petak ukur permanen di hutan alam bekas tebangan pada areal pengusahaan hutan PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Dinamika struktur tegakan terdiri atas ingrowth, upgrowth, dan mortality. Model yang dibangun didasarkan pada kelompok jenis (Dipterocarpaceae, Non-Dipterocarpaceae dan Non-Komersial). Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan siklus tebang 35 tahun, tegakan pada siklus tebang kedua belum mencapai kondisi semula. Memperpanjang siklus tebang hingga 40 tahun atau menurunkan limit diameter hingga kelas diameter 40 merupakan alternatif untuk menjaga kelestarian hasil. Siklus tebang yang semakin panjang ini juga didukung oleh riap diameter yang lebih kecil dari 1 cm/tahun yang menjadi dasar penetapan siklus tebang 35 tahun.
Kata kunci : model, struktur tegakan, hutan bekas tebangan, analisis sistem, pengaturan hasil



MODEL SIMULASI PENJARANGAN HUTAN TANAMAN EKALIPTUS


(Simulation Model of Thinning for Eucalyptus Plantatian Forest)
Oleh/By :
Aswandi
Abstract
The objective of this study was to developing a simulation model of thinning for eucalyptus plantation forest based on system analysis. The model used for predicting optimal time and intensity of thinning. Simulation to various scenarios of thinning resulted intensity 20% with rotation 5 year and length of plantation rotation 15 year were the optimum prescription of thinning. Yield projection at this prescription were 610,5  m3 per ha or MAI 40,7 m3 per ha per year and average of stand diameter 39,0 cm. This value were accumulation the volume of thinning 80,1 m3/ha and harvesting at the end of rotation 530,4 m3/ha. The model were hyphotetic model and have to conduct validation by developing permanent sampling plots of thinning.
Keywords : model, simulation, system analysis, eucalyptus, North Sumatera

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model hipotetis penjarangan hutan tanaman jenis ekaliptus berdasarkan pendekatan analisis sistem. Pada saat ini di lokasi penelitian kegiatan penjarangan belum dilakukan karena orieantasi pengusahaan masih pada hasil biomassa. Model sistem yang dibangun digunakan untuk mengetahui waktu dan intensitas penjarangan yang optimal. Berdasarkan simulasi terhadap berbagai skenario preskripsi penjarangan, intensitas penjarangan 25% dengan rotasi penjarangan 15 tahun memberikan hasil maksimal sebesar 40,7 m3 per ha per tahun atau 610,5 m3 per ha tegakan dengan rata-rata diameter 39,0 cm. Hasil total tersebut diperoleh dari kegiatan penjarangan sebesar 80,1 m3 per ha dan hasil tebangan akhir daur sebesar 530,4 m3 per ha. Model yang dibangun merupakan model hipotetis sehingga validasi sangat perlu dilakukan dengan membangun petak ukur penjarangan di lapangan.
Kata kunci : model, analisis sistem, simulasi, penjarangan, ekaliptus, Sumatera Utara

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN ACEH SETELAH MORATORIUM PENEBANGAN


Oleh :
Cut Rizlani Kholibrina

Pendahuluan
Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa, Gubernur Aceh mengeluarkan kebijakan moratorium logging  (jeda tebang) tidak lama setelah diangkat sebagai pemimpin rakyat Aceh. Kebijakan ini patut diacungi jempol karena memihak lingkungan dengan mengurangi penebangan liar sehingga mendapatkan apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Apresiasi yang tinggi terhadap konsistensi kebijakan ini kembali disampaikan para wakil rakyat di DPRD Aceh pada tanggal 26 Mei  dalam Sidang Paripurna Pembahasan RAPBA 2008 yang juga dihadiri oleh Gubernur.
Akan tetapi apresiasi yang disampaikan juga diikuti dengan pertanyaan : Apa yang harus dilakukan untuk menutupi kebutuhan kayu sedangkan hasil kayu dari hutan produksi Aceh nihil dan pemenuhan dari hutan rakyat belum dapat diandalkan?. Jika pun terdapat kayu rakyat, perangkat peraturan yang ada belum menjadi insentif bagi masyarakat menanam pohon. Pertanyaan ini sangat realistis mengingat Aceh membutuhkan kayu yang sangat tinggi bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami hingga 200.000 m3/tahun (Kompas, 7 April 2006). Apabila kebijakan jeda tebang ini tidak diikuti oleh perangkat kebijakan yang mendukung maka akan sangat sulit kebijakan pro lingkungan ini dapat bertahan dalam jangka panjang.

Banjir dan Kerusakan KEL
Selama beberapa tahun terakhir, berbagai media cetak dan elektronik nasional melaporkan peristiwa banjir besar yang menggenangi dan menghancurkan beberapa kabupaten di NAD dan Sumatera Utara. Ketika banjir bandang menghancurkan kawasan Langkat Sumatera Utara, meluapnya Sungai Tamiang yang membawa ribuan kubik kayu dan pepohonan yang tercerabut di Aceh Tamiang, banjir bandang di Meukek Aceh Selatan dan banyak peristiwa banjir lainnya yang menewaskan ratusan warga yang tak berdosa serta kerugian finansial dan moril yang sangat besar.
Namun, serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu. Hingga kini belum begitu jelas upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu. Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan ekosistem penyangga hampir di sebagian besar NAD dan sebagian Sumatera Utara sudah lama dirusak. Diyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar dan perambahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah merubah penutupan kawasan ini hingga mencapai 42.000 hektar.
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia dan merupakan hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air di NAD dan Sumatera Utara. Hutan Leuser juga menyediakan tempat-tempat resapan air berbentuk hutan gambut dan rawa-rawa seperti Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air.
Namun penebangan baik legal maupun ilegal pada kawasan ini mengakibatkan perubahan penutupan vegetasi, kerusakan habitat dan tidak berfungsinya jasa-jasa lingkungan lainnya. Jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar (Beukering dan Cesar. 2001).
Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di kawasan ini. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan lahan lainnya di luar kehutanan. Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terangterangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Penurunan penutupan vegetasi pada ekosistem ini mengakibatkan rusaknya kemampuan penyerapan air tanah oleh pohon hutan sehingga curah hujan tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas sehingga peristiwa banjir sangat mungkin terjadi yang tentu saja dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Hilangnya hutan yang merupakan habitat jutaan flora dan fauna mengakibatkan rantai makanan terganggu sehingga  mengakibatkan kepunahan spesies. Karena habitat alaminya terganggu, sebagian fauna besar seperti gajah dan harimau sumatera turun ke pemukiman masyarakat mencari mangsa. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan masyarakat, namun satwa tersebut juga tidak memiliki pilihan untuk bertahan di habitat alamnya karena juga semakin terjepit akibat pangan dan mangsanya yang semakin menipis.
Kerusakan hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di Indonesia. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.

Rencana Kerja
Disahkannya UUPA yang bernuasan ’hijau’ dengan kewajiban pemerintah Aceh untuk menjaga kelestarian sumberdaya alamnya dan adanya larangan untuk mengeluarkan izin pengusahaan (penebangan) hutan pada Kawasan Ekosistem Leuser yang dipertegas oleh misi gubernur NAD yang baru terpilih untuk meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan dengan menciptakan sistem pengelolaan hutan berbasis masya-rakat yang lestari harus dijadikan tonggak penting bagi pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.
Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan penutupan lahan yang sangat serius pada kawasan lindung di NAD dan Sumatera Utara dapat mengancam kehidupan di wilayah ini. Dengan luas ± 1,8 juta ha atau 39,27% luas daerah NAD (bahkan mencapai persentase > 80% pada beberapa kabupaten seperti Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tengara) (Disbunhut Aceh Selatan, 2006), gangguan terhadap kawasan lindung ini harus dicegah agar fungsi kawasan sebagai sistem penyangga kehidupan seperti pelindungan erosi dan banjir, sumber air dan udara bersih, dan sumber sandang dan pangan di NAD dan Sumatera Utara tidak terganggu.
Rencana kerja penanganan dan pencegahan banjir di masa depan harus diarahkan pada pengelolaan Derah Aliran Sungai (DAS) yang baik dengan mengurangi kerusakan hutan dan meningkatkan penutupan vegetasi melalui pengembangan program-program yang berdampak positif bagi pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis yang tepat (terutama memiliki akar tunjang dan serabut yang baik) dan pemberian motivasi kepada masyarakat untuk menanam tanaman perkebunan dan kehutanan yang potensial akan sangat menentukan upaya pemulihan DAS.

Insentif Pengembangan Hutan Rakyat
Disadari bahwa untuk menghentikan penebangan liar dibutuhkan pendekatan yang komprehensif mulai dari penegakan hukum, penataan pasar dan pemenuhan kebutuhan kayu dari alternatif usaha kehutanan yang lestari. Jika selama ini kita mengandalkan Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terbukti tidak lestari dan tidak memiihak masyarakat, tidak ada salahnya kita mulai menggali skim pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tidak seperti HPH yang padat modal dan skala luas, skim ini dapat memiliki luasan yang kecil, padat karya dengan partisipasi masyarakat yang tentu berpihak pada kesejahteraan masyarakat. 
Salah satu skim pengelolalaan hutan bersama masyararakat adalah hutan rakyat. Hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu rakyat dan rehabilitasi lahan. Luas hutan rakyat minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman minimal 500 tanaman per-hektar.
Sesungguhnya hutan rakyat telah lama berkembang di masyarakat dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai investasi dan penghasilan tambahan yang dapat diandalkan. Hal inilah yang mendorong pemerintah memberikan berbagai insentif seperti Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) sejak tahun 1997 dan mengeluarkan berbagai peraturan penertiban kayu rakyat. Tetapi dalam pelaksanaannya, kebijakan yang dikeluarkan malah menjadi disinsetif. Kewajiban kayu hutan rakyat memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) menambah beban biaya. Padahal, dalam PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa kayu yang berasal dari hutan hak diberi Surat Keterangan Asal Usul yang diterbitkan oleh kepala desa atau pejabat setara dan berlaku sebagai SKSHH.
Untuk memperkuat PP tersebut dikeluarkan Peraturan Menteri  Kehutanan No. P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak.  Tetapi perbedaan penafsiran  dari berbagai stakeholder mengakibatkan insentif ini tidak berjalan dengan baik. Adanya over-acting oknum keamanan dalam penertiban kayu juga sedikit banyak meruntuhkan semangat petani hutan rakyat.  Belum lagi beberapa kewajiban lainnya seperti retribusi daerah, jasa keamanan dan lainnya yang mengakibatkan biaya tinggi sehingga masyarakat tidak tertarik menanam karena kesulitan memanennya.
Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh pemerintah daerah NAD selain memberikan insentif kebijakan yang tepat dan betul-betul berpihak. Peluang otonomi daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk menyusun perangkat hukum dan birokrasi yang lebih ringkas harus dimanfaatkan. UUPA dan Qanun Kehutanan NAD harus diberdayakan dan diperkuat dengan penyusunan perangkat hukum dibawahnya. Banyaknya hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan kehutanan (UU, PP dan SK Menteri) tidak boleh dijadikan penghambat. Harus mulai diinisiasikan pembelajaran masyarakat dapat  penyusunan Peraturan Desa terutama yang berkaitan dengan penguatan bukti-bukti atau asal usul kayu rakyat. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang berada di luar kawasan hutan seperti rotan, getah damar, lebah madu dan lainnya yang belum memiliki payung hukum dapat difasilitasi dengan penerbitan qanun (perda) yang berkaitan dengan hal tersebut.
Insentif pengembangan hutan rakyat juga dapat diberikan melalui pembebasan biaya dan kemudahan birokrasi dalam pengurusan izin/ surat keterangan, kredit lunak, penghapusan berbagai pungutan/ retribusi, bantuan pembangunan dan pemeliharaan hutan rakyat dan sebagainya yang tentu saja akan lebih mudah pelaksanaannya dalam kerangka otonomi daerah. Koordinasi antar sektor (Kehutanan, Perhubungan, Koperasi, Perdagangan, dan Kepolisian) harus dilakukan sehingga keragaman interpretasi terhadap suatu kebijakan dapat dihindari.

Jasa Lingkungan : Carbon Trade
Perhatian dunia terhadap pemanasan global mengemuka dalam dua dasa warsa terakhir dan puncaknya pada Konvensi Internasional tentang Perubahan Iklim yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Dalam protocol tersebut disepakati bahwa pemanasan global merupakan masalah semua bangsa sehingga penanganannya harus melibatkan semua negara. Dalam protocol tersebut ditawarkan beberapa solusi seperti mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism) dan pencegahan deforestasi (Avoided Deforestation/AD) yang mengacu pada pencegahan hilangnya hutan untuk menurunkan emisi gas yang akan mengakibatkan pemanasan global (IPC, 1994). Ide dasar mekanisme ini adalah negara-negara maju di Utara membayar negara-negara berkembang di selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dengan memberi bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut.
Dalam perkembangannya mekanisme AD tidak hanya saja mengusung pencegahan deforestasi, tetapi juga penurunan emisi dari pencegahan degradasi hutan. Skim ini kemudian dikenal sebagai Reduced Emission from Degradation and Deforestations (REDD). REDD menawarkan kewajiban membayar melalui sistem perdagangan karbon bagi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang guna mengurangi penggundulan hutannya.  Skim REDD ini menjanjikan kempensasi dana hingga US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun dari negara-negara maju untuk menyelesaikan masalah kerusakan hutan (Kompas, 7/12/2007).
Mekanisme yang ditawarkan oleh REDD dapat menjadi sumber pendapatan pemerintah (pusat/ daerah) dengan adanya dana kompensasi tersebut, terutama dalam kerangka otonomi khusus – dalam pengelolaan hutan. Dana kompensasi juga dapat diberikan kepada pengelola kawasan lindung, inisiatif pemberantasan illegal logging, skema pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan kondisi kawasan lindung yang mendominasi fungsi lahan di Aceh, telah adanya inisiatif pemberantasan illegal logging melalui moratorium penebangan, skim REDD ini dapat dijadikan peluang untuk memperoleh dana kompensasi yang dapat dijadikan sumber pembiayaan pengelolaan dan perlindungan hutan di Aceh.
Apakah sudah ada pemerintah daerah yang memulai? Pemerintah Daerah Papua dan Pemerintah Aceh menyatakan kesiapannya menjadi daerah percontohan kegiatan REDD mulai pertengahan 2008 (Kompas, 7/12/2007). Akan tetapi satu hal yang harus disiapkan oleh stakeholder kehutanan Aceh, bahwa  apapun strategi yang akan ditempuh masalah penatagunaan dan pengukuhan hutan merupakan hal pertama yang harus diselesaikan.

Penutup
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Penegakan hukum memegang kata kunci bagi usaha pelestarian hutan melalui pelaksanaan UU Kehutanan secara komprehensif. Prinsip-prinsip kelestarian yang menjadi dasar moral pengelolaan hutan harus dipegang teguh oleh setiap pengambil kebijakan. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. ****


Daftar Pustaka
Beukering, P. V. dan H. Cesar. 2001. Nilai Ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser di Sumatera, Indonesia. Consultant Report, UML
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan, 2006. Neraca Sumberdaya Hutan Aceh Selatan.
IPC, 1994. Mechanisms under the Kyoto Protocol. http://www.unfccc.int
Kompas, Rekonstruksi Aceh pasca Tsunami Membutuhkan Kayu. terbit 7 April 206
Kompas, Indonesia Siapkan Proyek Percontohan REDD. terbit 7 Desember 2007
Peraturan Menteri  Kehutanan No. P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Sistem Pemerintahan Aceh.