Senin, 02 April 2012

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI TUSAM (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) STRAIN TAPANULI DAN KERINCI



Oleh :
Rusli MS Harahap dan Aswandi*

ABSTRAK
Pinus merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli dan Kerinci relatif sedikit menjadi obyek penelitian dan pengembangan sehingga penanaman dan pengusahaannya tidak semaju tusam strain Aceh. Penebangan liar dan kurangnya usaha-usaha pelestarian dan pembangunan hutan tanaman mengakibatkan populasi alami tusam Tapanuli dan Kerinci semakin menipis. Oleh karena itu diperlukan strategi pengembangan yang tepat melalui percepatan pembangunan hutan tanaman dan konservasi genetik secara in situ maupun eks-situ untuk mengurangi laju penipisan kekayaan genetik. Dukungan litbang  terutama teknologi perbenihan tusam sangat diperlukan terutama untuk meningkatkan perkecambahan benih yang selama ini menjadi pembatas kegiatan pengembangan dan konservasinya melalui pengamatan fenologi dan ekologi, sifat dasar kayu, pengaruh hutan, silvikultur, dan sosek masyarakat. Fenomena pertumbuhan permudaan tusam pada tempat-tempat terbuka pada populasi alaminya dapat dijadikan sebagai strategi konservasi in-situ terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan alam pada populasi alaminya.

Kata kunci : tusam, strain Tapanuli, strain Kerinci, konservasi, benih, litbang.



* Staf Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Pematangsiantar

PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL :

Perubahan Skala Pengusahaan Hutan dan Partisipasi Masyarakat
Oleh : Aswandi

Ringkasan
Perubahan kondisi tegakan hutan dengan potensi dan penyebaran hutan produksi yang semakin menurun, mengakibatkan konsep pengelolaan hutan skala besar konvensional oleh negara tidak sepenuhnya dapat diaplikasikan pada masa datang. Untuk itu perlu dikembangkan pengelolaan hutan skala kecil berbasis masyarakat yang mengandung spirit modal sosial seperti  partisipasi, pemerataan, dan kesejahteraan sosial. Pengelolaan hutan skala kecil dapat diterapkan diantaranya dalam bentuk hutan rakyat, agroforestry dan  manajemen kolaborasi  antara inti - plasma. Hal ini tentunya  harus diimbangi dengan aturan main yang jelas, terutama mengenai status kepemilikan dan pembagian hasil pada lahan-lahan yang dimiliki negara.
Kata kunci : pengelolaan hutan skala kecil, hutan rakyat, strategi pengelolaan

A.    PENGERTIAN DAN DEFINSI
Selama dua dekade terakhir, terlihat kecenderungan bergesernya fokus industri kehutanan dari industri skala besar ke arah pengelolaan hutan skala kecil (PHSK) berbasis masyarakat. Kecenderungan ini terutama terlihat di negara berkembang dimana industri pembalakan komersial skala besar untuk memenuhi permintaan kayu yang tidak lestari mulai bergeser ke arah manajemen hutan skala kecil dengan manfaat ganda yang dapat menopang kehidupan masyarakat. Di Eropa dan Amerika, pergeseran PHSK dimulai dengan berkembang pesatnya demokratisasi yang membawa implikasi  terbaginya lahan negara menjadi lahan pribadi (private land) (Harrison et al., 2002).
Definisi dan konsep PHSK berbeda antar masing-masing negara. Sebagai contoh, di India PHSK memiliki areal kurang dari 1 ha. Istilah PHSK yang dipraktekkan di Eropa  dengan luas 25-40 ha, tidak sama dengan Amerika Serikat yang memiliki lahan yang luas (rata-rata lebih dari 40 ha), atau di Jepang, dimana kebanyakan pengelolaan hutan memiliki skala mikro (1-5 ha).
Di banyak negara berkembang, PHSK lebih berkaitan erat dengan kehutanan masyarakat dibandingkan dengan industri kehutanan skala besar serta dilakukan pada hutan negara sebagai praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Walaupun PHSK juga melibatkan pengelolaan areal hutan yang relatif luas (dapat memiliki luas lebih dari 100 ha) secara komunal, tetapi areal tersebut masih relatif kecil dibandingkan industri kehutanan skala besar, misalnya HPH dan HTI dengan luasan lebih dari 10.000 ha).
Horison et al. (2002) mendefinisikan hutan skala kecil sebagai hutan dengan luas lebih kurang dari 100 ha, dan dapat mencapai luasan maksimum 1000 ha dengan pertimbangan kepentingan nasional. PHSK sering merujuk pada apa yang disebut dengan pemilikan hutan skala kecil.
Kamus Ilmu kehutanan (Helms, 1998) tidak mengungkapkan definisi yang baku tentang pengelolaan hutan skala kecil. Tetapi, pengertian ini lebih disesuaikan untuk ‘agroforestry', yang digambarkan sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan yang mencakup pepohonan dan tumbuhan hijau berkayu lainnya pada sistem produksi tanaman dan hewan untuk mengambil keuntungan dari interaksi ekonomi atau ekologis  antara masing-masing.
B.     Pengelolaan Hutan Skala Kecil di Beberapa Negara
Praktek PHSK relatif berbeda di berbagai negara. Dengan Small Forest Certification, tidak kurang dari 425.000 orang pemilik hutan mengorganisasi diri dalam serikat-serikat kecil pengelolaan hutan di Kanada. Sebagian besar kawasan hutan tersebut terpisah dalam luasan-luasan kecil. Kondisi yang serupa terdapat di Jepang. Kepemilikan hutan skala kecil mendominasi kepemilikan lahan hutan yang ada (57,9%), sehingga produksi kayu Jepang sebagian besar (76%) berasal dari lahan hutan pribadi (private forestland).  Sebagian besar hutan milik perseorangan tersebut memiliki luasan yang kecil (90% memiliki luas kuang dari 2 ha), sedangkan sisanya dimiliki oleh perusahaan dengan rata-rata luas 34,6 ha, dan kelompok masyarakat dengan luas rata-rata sekitar 19,3 ha (Ota, 2002). Di Amerika Serikat terdapat sekitar 600.000 pemilik hutan dengan luas minimal 40 ha yang menghasilkan 80 % total produksi kayu nasional negara tersebut (Bliss, 2003).
Negara-negara Eropa, misalnya Finlandia lebih dari 600.000 keluarga mengontrol sekitar 60% kawasan hutan di negara tersebut.  Di Swedia dan Norwegia pemilik hutan merupakan keluarga yang telah mengelola hutan secara tradisi disamping aktivitas ekonomi mereka di bidang pertanian; dengan luasan hutan 25 sampai 40 ha. Berbeda dengan di Jerman,  Austria dan Swiss;  umumnya pemilik hutan mempunyai luasan kurang dari 5 ha. Pada umumnya PHSK di Eropa memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Hyttinen, 2002). Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada umumnya praktek PHSK pada negara-negara di atas lebih berbentuk hutan tanaman.
C.    Pengelolaan Hutan Skala Kecil di Indonesia
Fragmentasi hutan akibat illegal logging pada hampir sebagian hutan di Indonesia memperlihatkan kenyataan bahwa sangat sulit membuat sebuah unit manajemen utuh dan kompak dengan tegakan hutan yang luas terutama pada hutan produksi.  Tegakan-tegakan yang ada, umumnya berada dalam bentuk luasan yang kecil sampai ratusan hektar bahkan mungkin hanya sampai puluhan hektar saja. Di sisi lain, kebutuhan akan kayu dan lahan semakin meningkat sedangkan ketersediaan kayu dari hutan alam semakin menurun akibat degradasi hutan yang luar biasa yang disebabkan kesalahan pengelolaan hutan.
Praktek pengelolaan hutan dalam luasan yang kecil sebenarnya telah ada sejak lama di Indonesia.  Sebagai contoh, sebuah keluarga di Jawa misalnya dapat memiliki hutan jati atau sengon dengan luas puluhan hektar, yang disebut dengan ”hutan keluarga (family forest)”.  Hutan yang dimiliki tersebut tidak selalu berupa satu kesatuan tetapi lokasinya dapat terpisah-pisah, bahkan ada juga yang hanya berupa tegakan sebagai pembatas tanah.  Di Bali hutan sengon yang dikelola masyarakat berkembang dengan baik terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kerajinan patung. Dalam perkembangannya hutan-hutan yang demikian disebut juga hutan rakyat.
Dari hasil listing Sensus Pertanian 2003 (ST03) menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar  1,2 juta rumah tangga yang mengusai tanaman akasia dengan populasi pohon mencapai 32,02 juta pohon atau rata-rata penguasaan 27,24 pohon per rumah tangganya. Dari total sebanyak 32,02 juta pohon akasia, sekitar 12,06 juta pohon atau 37,69 persen diantaranya adalah merupakan tanaman akasia yang siap tebang (Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2004).
Hutan tanaman akasia tersebut umumnya ditanam di Jawa yaitu mencapai 22,61 juta pohon atau sekitar 70,62 % dari total populasi, sedangkan sisanya sekitar 9,41 juta pohon (29,38 %)  berada di luar Jawa. Tanaman akasia di Jawa terkonsentrasi di empat propinsi berturut-turut adalah di  Jawa Timur (21,59 %), Jawa Tengah (19,69 %), Jawa Barat (13,86 %) dan D.I Yogyakarta (12,21 %), sementara di luar Jawa di Sumatera Selatan (7,20 %) dan Lampung (5,04 %).  Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang menguasai tanaman akasia di Jawa jauh lebih besar dibanding di luar Jawa yaitu  mencapai 75,85 % dari total Indonesia,  tetapi rata-rata pengusaan tanaman  per rumah tangga di Jawa hanya sekitar 25,36 pohon lebih rendah  dibanding dengan rata-rata pengusaan per rumah tangga di luar Jawa yang mencapai 33,14 pohon.  Demikian juga dengan kondisi tanaman, di Jawa persentase tanaman akasia yang siap tebang terhadap total jumlah pohon seluruhnya hanya 34,19 % sedangkan di luar Jawa persentasenya mencapai 46,12 % (Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2004).
Beberapa contoh praktek PHSK yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia lainnya adalah repong damar di Pesisir Krui Lampung, Tembawang di Kalimantan Barat; Lembo di Kalimantan Timur dan sebagainya dengan hasil hutan non kayu sebagai produk utamanya. Bagaimana halnya kelayakan PHSK apabila kayu merupakan hasil utama pengelolaan hutan?.
Skala unit pengelolaan yang kecil sesungguhnya memungkinkan modal yang dibutuhkan lebih sedikit dibanding industri kehutanan skala besar, lebih cenderung padat karya sehingga memberikan fleksibilitas untuk mengubah pola sasaran produksi dan manajemen sebagai respon terhadap fluktuasi harga, serta sensitifitasnya terhadap permasalahan dan peluang yang dihadapi. Fleksibiltas tersebut dapat tercermin pada rezim penebangan yang dipilih yakni penebangan dilakukan pada saat yang tepat yakni ketika harga jual kayu sedang tinggi dengan ketersediaan tegakan yang mencukupi yang mencerminkan kondisi optimal pemanfaatan sumberdaya hutan. Tegakan hutan tersebut dapat bertindak sebagai tabungan yang ditebang pada saat dibutuhkan, misalnya untuk membiayai pesta perkawinan anak, menyekolahkan anak dan sebagainya.
Akan tetapi beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan skala kecil antara lain (1) ukuran luas minimal, (2) teknik pengaturan hasil, dan (3) teknik pemanenan dan pemasaran hasil belum sepenuhnya diketahui. Banyak hal yang mengakibatkan hal-hal tersebut di atas belum dapat dikuasai. Orientasi pengelolaan hutan dalam bentuk industri kehutanan skala besar dan negara merupakan superordinat masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan beberapa penyebab belum berkembangnya skim PHSK di Indonesia. Bahkan banyak proyek-proyek PHSK yang memberikan prospek yang menjanjikan tetapi kemudian menjadi hancur setelah proyek selesai.
Ketidakpastian kawasan hutan akibat masalah tenurial tidak jelas-umumnya di luar Jawa, susahnya memasarkan produk kayu akibat kalah bersaing dengan rendahnya harga kayu dari penebangan liar (illegal logging) dan sulitnya mengeluarkan sertifikasi produk kayu dari PHSK mengakibatkan banyak usaha PHSK yang telah dirintis kembali tenggelam.

D.    Pengembangan Strategi Pengelolaan
Walaupun terdapat sejumlah peluang pengembangannya, PHSK mengandung kompleksitas berkaitan dengan masalah-masalah tenurial sumberdaya hutan, kapasitas teknik dan manajerial masyarakat dan sebagainya. Merujuk makna “skala kecil berbasis masyarakat” adalah proses pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen maka yang hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah :
1.      Kepastian kawasan dan distribusi lahan hutan.
Kepastian wilayah kelola berkaitan dengan lahan dan akses masyarakat terutama pada kawasan yang saat ini dinyatakan sebagai Hutan Negara, serta status dan fungsi kawasan. Kepastian wilayah kelola yang dimaksud bukan membagi-bagikan kepemilikan lahan tapi lebih pada kepastian akses pengelolaan jangka panjang.
Sistem Plasma dan Inti
Sistem ini meniru prinsip inti – plasma pada perkebunan, di mana petani-petani kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung dalam suatu serikat untuk menjual produk perkebunannya.  Pada umumnya petani-petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan sekaligus menampung produk petani-petani kecil tersebut.
Prinsip ini berpeluang untuk diterapkan pada PHSK. Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara dapat menjadi inti yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pembelian produk-produk dari hutan skala kecil. 
Dalam prakteknya, sistem inti – plasma ini telah mulai diterapkan pada pengelolaan HTI PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara. PT. TPL bertindak sebagai inti yang menyediakan sarana produksi dan bimbingan teknis dalam kegiatan pembangunan tanaman, sedangkan masyarakat sebagai plasma menyediakan lahan yang umumnya merupakan lahan komunal (marga) dan tenaga kerja. Masyarakat memperoleh pendapatan dari upah pembangunan hutan tanaman ekaliptus dan persentase dari harga jual kayu kepada perusahaan. Dalam hal ini mekanisme penentuan harga dan besarnya persentase bagian untuk masyarakat ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara perusahaan dan petani yang dimediasi oleh pemerintah daerah. Skim ini telah terbukti dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat rata-rata sebesar Rp 575 ribu per ha per tahun atau rata-rata Rp  7,3 juta per tahun atau kurang lebih Rp 58,6 juta dalam satu daur 8 tahun dengan luasan andil rata-rata 12,75 ha. Kolaborasi ini secara nyata telah mengurangi terjadinya sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan (Darwo et al, 2004).

2.      Kelembagaan unit usaha dan kepastian unit usaha sebagai bentuk pengelolaan.
Kelembagaan unit usaha menjadi sangat penting sebagai alat bukti bahwa PHSK memiliki aturan main yang jelas dan mekanisme pertanggung-jawaban atas hak kelola yang diberikan. Aspek ini menjadi prasyarat yang harus dikembangkan berdasarkan kelembagaan lokal praktek PHSK. Kejelasan tata kelola hak, kewajiban dan tanggung-jawab serta insentif dalam pengelolaan sumberdaya menjadi dasar pengembangan kapasitas kelembagaan unit usaha pengelolaan hutan.
Kepastian unit usaha berkaitan dengan skim ekonomi dimana modal, pengetahuan lokal, akses informasi, pengembangan komoditi, dan pasar menjadi substansi dasar dalam praktek PHSK. Kepastian unit usaha digunakan juga sebagai instrument dalam melakukan mandat usaha ekonomi yang layak untuk dikelola dan memberikan kepastian hasil dan peningkatan ekonomi masyarakat. Banyak contoh kasus kurangnya akses informasi terhadap harga mengakibatkan kayu dari hutan skala kecil (hutan rakyat) dihargai rendah atau sangat rendah sehingga menjadi disinsentif bagi masyarakat dalam mengelola hutannya.

3.      Peningkatan kapasitas manajerial dan teknik.
Dalam pengembangan PHSK, sumberdaya manusia pengelola dan pendamping teknis menjadi kebutuhan penting. Persiapan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia adalah prasyarat mutlak karena PHSK tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat tetapi lebih besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pada banyak kegiatan pengembangan kehutanan masyarakat, rendahnya kemampuan teknik dan manajerial, termasuk strategi pemasaran produk dan pemilihan jenis telah mengakibatkan kegagalan. Oleh karena itu diperlukan pengembangan kapasitas masyarakat terutama dalam menyerap teknik pengelolaan sumberdaya yang sederhana dan tepat. Peningkatan teknik pengolahan hasil juga dapat memberikan peningkatan nilai tambah lokal, sehingga masyarakat dapat menerima manfaat yang lebih besar dari sumberdaya hutan yang mereka kelola.

4.      Perencanaan pengelolaan sumberdaya hutan secara akurat.
Sekurangnya unsur-unsur perencanaan paling sedikit memuat :
a.      Data dasar potensi hutan, keadaan sosial ekonomi masyarakat melalui kegiatan inventarisasi yang akurat.
b.     Tujuan dan sasaran pengusahaan yang jelas
c.      Memiliki program dan kegiatan yang jelas
d.     Dukungan kelembagaan dan pendanaan
e.      Pengawasan, monitoring dan evaluasi
Perencanaan tersebut harus melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan semua komponen masyarakat. Partisipasi merupakan proses dalam perencanaan dan merupakan bukan tujuan. Tujuan PHSK berbasis masyarakat adalah terwujudnya hutan yang memiliki keseimbangan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi.
Luas Minimum
Tahap kritis dalam perencanaan pembangunan hutan skala kecil adalah seberapa luas hutan skala kecil yang akan ditanami setiap tahunnya.  Pertanyaan ini akan menentukan keputusan pertimbangan anggaran, praktek pengelolaan hutan, perencanaan lingkungan dan perencanaan pengembangan pembiayaan dan pendapatan.
 Luas minimum unit manajemen hutan skala kecil dapat ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
o    Berapakah luasan minimum yang dapat menghasilkan pengembalian modal ?
o    Jarak dari lokasi pengolahan kayu atau pasar yang berpengaruh terhadap skala ekonomis ukuran petak tegakan.
o    Daur pengelolaan. Pada umumnya digunakan daur ekonomis/finansial sesuai dengan tujuan perusahaan  Beberapa jenis tanaman dengan daur nya masing-masing seperti dalam Tabel 1. 

Tabel 1. Berbagai daur jenis tanaman kehutanan
No
Jenis Tanaman
Daur
1
Jati
40 – 80 tahun
2
Pinus
25  tahun
3
Damar
20 – 25 tahun
4
Mahoni
30 – 60 tahun
5
Sonokeling
40 – 60 tahun
6
Rasamala
40 – 60 tahun
7
Meranti
70 tahun
8
Sengon
8 tahun
9
Mangium
8 – 15 tahun
10
Gemelina
7 – 15 tahun
Dalam tegakan seumur terdapat dua tipe hasil tegakan yaitu hasil akhir (hasil utama) dan hasil antara (tebangan penjarangan). Di Selandia Baru, penjarangan komersial Pinus radiata pada umumnya dilakukan pada umur 11 tahun ketika volume kayu yang dihasilkan 0,25 – 0,35 m3. Penjarangan ini akan mengeluarkan pohon sebanyak 300 – 400 batang sehingga jumlah pohon yang tinggal sekitar 1100 pohon dari 1400-1500 pohon yang ditanam yang akan menghasilkan kayu perdagangan sekitar 0.12 m3 (Ministry of Forestry dan  New Zealand Forest Research Institute,  1996).

Kelas Perusahaan
Pemilihan jenis yang tepat merupakan pertimbangan penting dalam mengelola hutan dengan luasan yang kecil. Pemilihan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomis tinggi akan mereduksi besaran biaya tetap per meter kubiknya.  Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memilih jenis tanaman yang paling sesuai baik untuk hutan rakyat maupun hutan di perusahaan hutan jati di Jawa seperti pada Tabel 2. 

Tabel 2. Nilai NPV, BCR dan IRR beberapa jenis tanaman pokok pada PHSK
No
Jenis
NPV (Rp.)
BCR (%)
IRR (%)
1
Sengon
5.789.949
1,97
45
2
Mahoni
4.819.049
1,53
35
3
Jati
5.011.623
1,50
23
(Sumber : Herawaty, 2001)
Pemilihan jenis berdasarkan analisis hirarki menunjukkan bahwa di Ciamis Jawa Barat tanaman mahoni, sengon dan jati merupakan pilihan utama ditanam oleh masyarakat.  Jenis tanaman lain adalah akasia (Acacia mangium). Dengan daur finansial yang cukup pendek (dapat dipanen pada umur 7 – 8 tahun), hasil kayu yang relatif besar mencapai 73 – 120 m3/ha, jenis ini sangat prospektif untuk ditanam pada PHSK.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan, penanaman tanaman pokok juga dapat diselingi dengan tanaman pertanian dan tanaman berdaur pendek lainnya dengan sistem tumpang sari maupun agroforestry. Selain memberikan tambahan penghasilan, sistem ini juga mendukung keberhasilan tanaman pokok yang ditanam.
Teknik Pemanenan
Penggunaan penggergajian kayu yang mudah dipindahkan (portable sawmill) dari satu lokasi ke lokasi penebangan lain dalam beberapa kasus sangat mendukung PHSK seperti halnya pada sistem hutan kerakyatan di Sanggau Kalimantan Barat dan PHSK di Papua New Guinea. Setelah tegakan ditebang, kayu dapat diolah langsung di dalam hutan sehingga akan mengurangi biaya transportasi dan meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat lokal. Selain itu pengolahan kayu portable ini juga memiliki beberapa keunggulan lain, seperti :
-    Teknologi sederhana dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat
-    Memberikan pengetahuan dan teknologi baru bagi masyarakat
-    Memberikan peluang bisnis dan lapangan kerja baru
-    Tingkat pemanenan tidak merusak lingkungan
5.      Pemasaran hasil hutan
Pada banyak kasus, pemasaran hasil hutan merupakan faktor penting dalam pengembangan PHSK. Harga kayu yang rendah dan tidak adanya pasar yang menampung kayu masyarakat tersebut mengakibatkan banyak program PHSK tidak berjalan dengan baik.
Dengan pola inti – plasma atau perserikatan, plasma dapat memasarkan kayu yang mereka panen kepada inti atau perserikatan tersebut. Adanya posisi tawar yang baik tersebut akan mendorong terciptanya tingkat harga yang adil.
Sebelum pemanenan dilakukan perlu diperhatikan cara penjualan yang dipilih.  Terdapat tiga model penjualan tegakan yang dapat dipilih yaitu penjualan berdasarkan blok tanaman, penjualan dalam volume kayu perdangan dan penjualan berdasarkan kualitas kayu. Skim penjualan ini perlu diperhatikan karena begitu kesepakatan jual beli disepakati, antara pemilik hutan dan pembeli memiliki hak dan kewajiban terhadap hutan yang diperjualbelikan.
6.      Mekanisme penyelesaian sengketa
Mekanisme penyelesaian sengketa lahan dan sosial (terutama pada lahan negara) dalam memberikan kepastian dan perlindungan hak pengelolaan dan unit usaha kelola. Penyelesaiakan sengketa yang berkaitan dengan akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dapat dijadikan instrument untuk melakukan tahapan pergeseran perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen.
7.      Kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak dan insentif pengelolaan jangka panjang. Berbedanya kondisi PHSK berbasis masyarakat ini dibandingkan dengan pengusahaan hutan produksi skala besar (HPH) mengakibatkan kewajiban iuran kehutanan yang  juga berbeda. Apabila besarnya kewajiban tersebut diterapkan sama dengan HPH maka akan mengurangi besarnya nilai manfaat bersih yang diterima sehingga menjadi tidak layak menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat.
Rendahnya penghasilan atau permodalan yang dimiliki petani harus diatasi dengan pemberian insentif dan subsidi oleh pemerintah kepada pemilik/pengelola hutan.  Bantuan  tersebut dapat berupa   subsidi keuangan, dukungan teknis, mekanisasi sistem pamanen dan tenaga pedamping (Brand, 2002).  Di Jepang, PHSK mendapat bantuan dari pemerintah berdasarkan Basic Forestry Law tahun 1964.  Pemilik hutan memperoleh subsidi sebesar 68 % dari biaya penanaman dan penjarangan non komersial.  Selain itu setiap tahun pemerintah menyediakan dana untuk pendukung pembangunan sarana jalan dan mesin-mesin untuk memajukan kawasan perdesaan (Ota, 2002).
8.      Pengawasan, monitoring, dan evaluasi
Pengawasan, monitoring dan evaluasi dikerjakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat sendiri. Kedua institusi ini harus merumuskan hak dan kewajiban dalam kontek pengawasan, monitoring, dan evaluasi. Dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan PHSK perlu ditetapkan kriteria dan indikator pengelolaan yang lestari seperti aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Kriteria-kriteria tersebut harus disesuaikan dengan kondisi atau tipologi suatu daerah dan disesuaikan dengan konsep “small forest” seperti misalnya ukuran luasnya berbeda-beda antar daerah dan negara. 
Sertifikasi juga dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengetahui kinerja PHSK yang lestari. Di Jepang, Forest Stewardship Council (FSC) merupakan salah satu lembaga yang memberikan sertifikasi lingkungan dalam PHSK.  Beberapa perusahaan PHSK di Jepang telah menerima sertifikat lingkungan.  Perusahaan ini mengelola hutan seluas 3300 ha dengan 200 pemilik yang berbeda (Ota, 2002). Selain memberikan sertifikasi bagi pengelola yang memiliki kinerja baik, monitoring juga difungsikan untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan yang dihadapi dalam PHSK.

E.     Penutup
Pengelolaan hutan skala kecil  memberikan alternatif baru dalam pengelolaan hutan produksi yang memberikan kesempatan kerja dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Di Indonesia PHSK dapat diterapkan diantaranya dalam bentuk hutan rakyat, agroforestary dan  manajemen kolaborasi  antara inti - plasma. Hal ini tentunya  harus diimbangi dengan aturan main yang jelas, terutama mengenai status kepemilikan dan pembagian hasil pada lahan-lahan yang dimiliki negara. Satu hal yang harus tetap dipegang adalah bahwa PHSK berbasis masyarakat ini harus digali dari kearifan tradisional yang terdapat dalam masyarakat tersebut dan tidak dapat dipaksakan sebagai suatu bentuk yang baku.


DAFTAR PUSTAKA
Bliss, JC.  2003.   Sustaining Family Forests in Rural Landscapes: Rationale, Challenges, and an Illustration from Oregon, USA.   Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 2(1): 1-8, 2003
Brand H.  2002.  The Economic Situation of  Family-farm Enterprises in the Southern Black Forest.  Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 13–24.
Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Kerjasama Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik.
Harrison, S.R, Herbohn, J.L and Niskanen A.J.  2002.  Non-industrial, Smallholder, Small-scale and Family Forestry: What’s in a Name?.  Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 1–11.
Helms, J.A., 1998. The Dictionary of Forestry. Society of American Foresters and CABI Pubilshing, Bethesda.
Herawaty T.  2001.  Pengembangan Sistem Pengambilan Keputusan dengan Kriteria Ganda dalam Penentuan Jenis Tanaman Hutan Rakyat.  Tesis Pada Program Pasca Sarjana IPB.  Tidak Diterbitkan
Hyttinen, P.  2002.   Small Scale Forestry and Sustainable Rural Development IUFRO Occasional Paper No. 16 IUFRO – 110 Years : 13 – 16
Manik, D., 2004. Analasis Pengembangan Pola PIR pada HTI PT. Toba Pulp Lestari. Skripsi. Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Simalungun Pematangsiantar. Tidak Diterbitkan.
Ministry of Forestry and the New Zealand Forest Research Institute,  1996.  Establing and Harvesting A  Small Forest.  The Ministry of Forestry and the New Zealand Forest Research Institute Ltd.
Ota, J.  2002.  The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan and Some Recent Policy Initiatives to Reverse the Trend.  Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 25–37.
Papua New Guinea. Small-scale sawmilling a good way forward.  http://www.wrm.gov.uy/Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good way forward.htm  [20 Januari 2005]

ADA APA DENGAN TPTI

Oleh : Aswandi

Salah satu pertanyaan yang selalu mengemuka apabila kita berbicara tentang kelestarian hutan adalah apa yang menyebabkan hutan produksi yang dikelola HPH banyak yang rusak atau memiliki produktivitas rendah.

Berbagai jawaban tentang penyebab kerusakan dapat kita peroleh seperti illegal logging, kebakaran hutan, perambahan, penegakan hukum yang lemah, tidak dilakukannya pembinaan tegakan dan sebagainya.

Banyaknya hutan bekas tebangan yang rusak, tentu saja membuat para rimbawan gerah. Kegerahan tersebut terlihat dengan semakin seringnya TPTI diusik-usik ‘kemapanannya’ sebagai sistem silvikultur di hutan alam. Ada yang beranggapan tidak cocok lagi diterapkan pada hutan bekas tebangan terutama dengan produktivitas rendah, tidak punya dasar ilmiah yang cukup sehingga perlu direvisi, dan berbagai alasan lainnya.
Sesungguhnya apa yang salah dengan TPTI? Konsepnya yang salah atau pelaksanaannya.  Apabila kita berpikir pelaksanaan yang salah akibat konsep yang salah, maka tentu saja kita harus segera merevisi atau mengganti konsep tersebut. Tetapi pelaksanaan yang salah juga dapat diakibatkan oleh berbagai eksternalities seperti lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan berbagai faktor lainnya yang saling terkait.  

Kompleks!

Bagi yang berpikir konsep TPTI perlu diganti, telah muncul berbagai sistem baru seperti TJTI, TPTJ dan terbaru TPTII yang berbeda dengan TPTI. Bagi yang masih memandang TPTI tetap sesuai, juga telah muncul pemikiran untuk merevisi sistem tersebut, terutama rangkaiannya yang panjang dengan yang lebih sederhana.

Memang (telah kita sadari) rangkaian tahapan TPTI belum didasari pertimbangan ilmiah yang cukup, sehingga efektivitas tahapan TPTI sering diperdebatkan. Sering muncul pertanyaan perlu tidaknya pengkayaan, pembebasan dan penjarangan.
Belum lagi akses yang sulit pada hutan rawa setelah tebangan terutama setelah jalan cabang (rel) dibongkar mengakibatkan hampir tidak ada kegiatan pembinaan setelah 2 tahun setelah penebangan.

Penyederhanaan
Menggantikan TPTI dengan system silvikultur yang baru atau merevisinya (menyederhanakan)? Dengan mempertimbangkan resiko ekologis yang cukup besar apabila menerapkan sistem silvikultur yang relatif baru, rasanya revisi (penyederhanaan) rangkaian TPTI merupakan hal yang layak dipertimbangkan.

Aksesibilitas yang relatif sulit pada hutan rawa gambut merupakan salah satu pembatas kegiatan pembinaan tegakan setelah jalan rel dibongkar. Oleh karena itu kegiatan pembinaan tegakan seperti pembebasan, pengkayaan dan penjarangan sebaiknya segera dilakukan setelah penebangan.

Sulitnya mengetahui kinerja kegiatan perapihan karena kondisi tegakan masih cukup terbuka dan kemungkinan terduplikasi dengan kegiatan pembebasan maka tahapan ini diintegrasikan dengan kegiatan ITT sehingga ITT dapat dimajukan  dari Et+2 menjadi Et+1 sehingga pengadaan bibit lebih segera dilakukan dan penanaman pengkayaan/ rehabilitasi pada Et+2.

Rekomendasi
·       Untuk meningkatkan kinerja pengawasan kegiatan pembinaan maka perlu diperkuat kembali peran dan tanggung jawab berbagai pihak pemangku kebijakan.
·       Penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan perapihan, pembebasan dengan ITT sehingga kegiatan berikutnya dilakukan lebih awal.
·       Rangkaian TPTI (pembinaan tegakan) yang disederhanakan menjadi : 1. ITT terintegrasi dengan pembebasan dan penjarangan (Et+1). 2. Pengadaan bibit (Et+1). Penanaman pengkayaan/rehabilitasi (Et+2). Penjarangan lanjutan bersifat opsional.
·       Kegiatan pengkayaan/rehabilitasi lebih diarahkan pada areal terbuka dengan jenis yang tepat.
Lebih baik sederhana tapi efektif bukan?