Perubahan Skala Pengusahaan
Hutan dan Partisipasi Masyarakat
Oleh : Aswandi
Ringkasan
Perubahan kondisi tegakan hutan dengan potensi dan penyebaran hutan
produksi yang semakin menurun, mengakibatkan konsep pengelolaan hutan skala
besar konvensional oleh negara tidak sepenuhnya dapat diaplikasikan pada masa
datang. Untuk itu perlu dikembangkan pengelolaan hutan skala kecil berbasis
masyarakat yang mengandung spirit modal sosial seperti partisipasi, pemerataan, dan kesejahteraan
sosial. Pengelolaan hutan
skala kecil dapat diterapkan diantaranya dalam bentuk hutan rakyat,
agroforestry dan manajemen
kolaborasi antara inti - plasma. Hal ini
tentunya harus diimbangi dengan aturan
main yang jelas, terutama mengenai status kepemilikan dan pembagian hasil pada
lahan-lahan yang dimiliki negara.
Kata kunci : pengelolaan hutan skala kecil, hutan
rakyat, strategi pengelolaan
A. PENGERTIAN
DAN DEFINSI
Selama dua dekade
terakhir, terlihat kecenderungan bergesernya fokus industri kehutanan dari
industri skala besar ke arah pengelolaan hutan skala kecil (PHSK) berbasis
masyarakat. Kecenderungan ini terutama terlihat di negara berkembang dimana
industri pembalakan komersial skala besar untuk memenuhi permintaan kayu yang
tidak lestari mulai bergeser ke arah manajemen hutan skala kecil dengan manfaat
ganda yang dapat menopang kehidupan masyarakat. Di Eropa dan Amerika, pergeseran PHSK dimulai dengan berkembang pesatnya
demokratisasi yang membawa implikasi
terbaginya lahan negara menjadi lahan pribadi (private land) (Harrison et al., 2002).
Definisi dan konsep
PHSK berbeda antar masing-masing negara. Sebagai contoh, di India PHSK memiliki
areal kurang dari 1 ha. Istilah PHSK yang dipraktekkan di Eropa dengan luas 25-40 ha, tidak sama dengan Amerika
Serikat yang memiliki lahan yang luas (rata-rata lebih dari 40 ha), atau di
Jepang, dimana kebanyakan pengelolaan hutan memiliki skala mikro (1-5 ha).
Di banyak negara
berkembang, PHSK lebih berkaitan erat dengan kehutanan masyarakat dibandingkan
dengan industri kehutanan skala besar serta dilakukan pada hutan negara sebagai
praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Walaupun PHSK juga melibatkan
pengelolaan areal hutan yang relatif luas (dapat memiliki luas lebih dari 100
ha) secara komunal, tetapi areal tersebut masih relatif kecil dibandingkan
industri kehutanan skala besar, misalnya HPH dan HTI dengan luasan lebih dari
10.000 ha).
Horison et
al. (2002) mendefinisikan hutan skala kecil sebagai hutan dengan luas lebih
kurang dari 100 ha, dan dapat mencapai luasan maksimum 1000 ha dengan
pertimbangan kepentingan nasional. PHSK sering merujuk pada apa yang disebut
dengan pemilikan hutan skala kecil.
Kamus Ilmu kehutanan
(Helms, 1998) tidak mengungkapkan definisi yang baku tentang pengelolaan hutan
skala kecil. Tetapi, pengertian ini lebih disesuaikan
untuk ‘agroforestry', yang digambarkan sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan
yang mencakup pepohonan dan tumbuhan hijau berkayu lainnya pada sistem produksi
tanaman dan hewan untuk mengambil keuntungan dari interaksi ekonomi atau
ekologis antara masing-masing.
B.
Pengelolaan Hutan Skala Kecil di Beberapa Negara
Praktek PHSK relatif berbeda di berbagai
negara. Dengan Small Forest Certification, tidak kurang dari 425.000 orang pemilik hutan mengorganisasi diri
dalam serikat-serikat kecil pengelolaan hutan di Kanada. Sebagian besar kawasan
hutan tersebut terpisah dalam luasan-luasan kecil. Kondisi yang serupa terdapat di Jepang.
Kepemilikan hutan skala kecil mendominasi kepemilikan lahan hutan yang ada
(57,9%), sehingga produksi kayu Jepang sebagian besar (76%) berasal dari lahan
hutan pribadi (private forestland). Sebagian besar hutan milik perseorangan
tersebut memiliki luasan yang kecil (90% memiliki luas kuang dari 2 ha),
sedangkan sisanya dimiliki oleh perusahaan dengan rata-rata luas 34,6 ha, dan
kelompok masyarakat dengan luas rata-rata sekitar 19,3 ha (Ota, 2002). Di
Amerika Serikat terdapat sekitar 600.000 pemilik hutan dengan luas minimal 40
ha yang menghasilkan 80 % total produksi kayu nasional negara tersebut (Bliss,
2003).
Negara-negara Eropa, misalnya Finlandia lebih dari
600.000 keluarga mengontrol sekitar 60% kawasan hutan di negara tersebut. Di Swedia dan Norwegia pemilik hutan
merupakan keluarga yang telah mengelola hutan secara tradisi disamping
aktivitas ekonomi mereka di bidang pertanian; dengan luasan hutan 25 sampai 40
ha. Berbeda dengan di Jerman, Austria
dan Swiss; umumnya pemilik hutan
mempunyai luasan kurang dari 5 ha. Pada umumnya PHSK di Eropa memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi (Hyttinen,
2002). Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada umumnya praktek
PHSK pada negara-negara di atas lebih berbentuk hutan tanaman.
C.
Pengelolaan Hutan
Skala Kecil di Indonesia
Fragmentasi hutan akibat illegal logging pada
hampir sebagian hutan di Indonesia memperlihatkan kenyataan bahwa sangat sulit
membuat sebuah unit manajemen utuh dan kompak dengan tegakan hutan yang luas
terutama pada hutan produksi.
Tegakan-tegakan yang ada, umumnya berada dalam bentuk luasan yang kecil
sampai ratusan hektar bahkan mungkin hanya sampai puluhan hektar saja. Di sisi
lain, kebutuhan akan kayu dan lahan semakin meningkat sedangkan ketersediaan
kayu dari hutan alam semakin menurun akibat degradasi hutan yang luar biasa
yang disebabkan kesalahan pengelolaan hutan.
Praktek pengelolaan hutan dalam luasan yang kecil
sebenarnya telah ada sejak lama di Indonesia.
Sebagai contoh, sebuah keluarga di Jawa misalnya dapat memiliki hutan
jati atau sengon dengan luas puluhan hektar, yang disebut dengan ”hutan
keluarga (family forest)”. Hutan yang dimiliki tersebut tidak selalu
berupa satu kesatuan tetapi lokasinya dapat terpisah-pisah, bahkan ada juga
yang hanya berupa tegakan sebagai pembatas tanah. Di Bali hutan sengon yang dikelola masyarakat
berkembang dengan baik terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk
industri kerajinan patung. Dalam
perkembangannya hutan-hutan yang demikian disebut juga hutan rakyat.
Dari hasil
listing Sensus Pertanian 2003 (ST03) menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat
sekitar 1,2 juta rumah tangga yang mengusai tanaman akasia dengan
populasi pohon mencapai 32,02 juta pohon atau rata-rata penguasaan 27,24 pohon
per rumah tangganya. Dari total
sebanyak 32,02 juta pohon akasia, sekitar 12,06 juta pohon atau 37,69 persen
diantaranya adalah merupakan tanaman akasia yang siap tebang (Departemen
Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2004).
Hutan tanaman akasia tersebut umumnya ditanam
di Jawa yaitu mencapai 22,61 juta pohon atau sekitar 70,62 % dari total
populasi, sedangkan sisanya sekitar 9,41 juta pohon (29,38 %) berada di
luar Jawa. Tanaman akasia di Jawa terkonsentrasi di empat propinsi
berturut-turut adalah di Jawa Timur (21,59 %), Jawa Tengah (19,69 %),
Jawa Barat (13,86 %) dan D.I Yogyakarta (12,21 %), sementara di luar Jawa di
Sumatera Selatan (7,20 %) dan Lampung (5,04 %). Meskipun persentase
jumlah rumah tangga yang menguasai tanaman akasia di Jawa jauh lebih besar
dibanding di luar Jawa yaitu mencapai 75,85 % dari total Indonesia,
tetapi rata-rata pengusaan tanaman per rumah tangga di Jawa hanya sekitar
25,36 pohon lebih rendah dibanding dengan rata-rata pengusaan per rumah
tangga di luar Jawa yang mencapai 33,14 pohon. Demikian juga dengan
kondisi tanaman, di Jawa persentase tanaman akasia yang siap tebang terhadap
total jumlah pohon seluruhnya hanya 34,19 % sedangkan di luar Jawa
persentasenya mencapai 46,12 % (Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik,
2004).
Beberapa contoh praktek PHSK yang telah mengakar
dalam kehidupan masyarakat Indonesia lainnya adalah repong damar di Pesisir
Krui Lampung, Tembawang di Kalimantan Barat; Lembo di Kalimantan Timur dan
sebagainya dengan hasil hutan non kayu sebagai produk utamanya. Bagaimana
halnya kelayakan PHSK apabila kayu merupakan hasil utama pengelolaan hutan?.
Skala unit
pengelolaan yang kecil sesungguhnya memungkinkan modal yang dibutuhkan lebih
sedikit dibanding industri kehutanan skala besar, lebih cenderung padat karya
sehingga memberikan fleksibilitas untuk mengubah pola sasaran produksi dan
manajemen sebagai respon terhadap fluktuasi harga, serta sensitifitasnya
terhadap permasalahan dan peluang yang dihadapi. Fleksibiltas tersebut dapat tercermin pada rezim
penebangan yang dipilih yakni penebangan dilakukan pada saat yang tepat yakni
ketika harga jual kayu sedang tinggi dengan ketersediaan tegakan yang mencukupi
yang mencerminkan kondisi optimal pemanfaatan sumberdaya hutan. Tegakan hutan
tersebut dapat bertindak sebagai tabungan yang ditebang pada saat dibutuhkan,
misalnya untuk membiayai pesta perkawinan anak, menyekolahkan anak dan
sebagainya.
Akan tetapi beberapa pertimbangan yang harus
diperhatikan dalam mengelola hutan skala kecil antara lain (1) ukuran luas
minimal, (2) teknik pengaturan hasil, dan (3) teknik pemanenan dan pemasaran
hasil belum sepenuhnya diketahui. Banyak hal yang mengakibatkan hal-hal
tersebut di atas belum dapat dikuasai. Orientasi pengelolaan hutan dalam bentuk
industri kehutanan skala besar dan negara merupakan superordinat masyarakat
dalam pengelolaan hutan merupakan beberapa penyebab belum berkembangnya skim PHSK
di Indonesia. Bahkan banyak proyek-proyek PHSK yang memberikan prospek yang
menjanjikan tetapi kemudian menjadi hancur setelah proyek selesai.
Ketidakpastian kawasan hutan akibat masalah
tenurial tidak jelas-umumnya di luar Jawa, susahnya memasarkan produk kayu
akibat kalah bersaing dengan rendahnya harga kayu dari penebangan liar (illegal logging) dan sulitnya
mengeluarkan sertifikasi produk kayu dari PHSK mengakibatkan banyak usaha PHSK
yang telah dirintis kembali tenggelam.
D.
Pengembangan
Strategi Pengelolaan
Walaupun terdapat sejumlah peluang
pengembangannya, PHSK mengandung kompleksitas berkaitan dengan masalah-masalah
tenurial sumberdaya hutan, kapasitas teknik dan manajerial masyarakat dan
sebagainya. Merujuk makna “skala kecil berbasis masyarakat” adalah proses pergeseran
paradigma pembangunan kehutanan, perubahan sikap dan orientasi, mekanisme
institusional dan administratif, dan metode manajemen maka yang hal-hal yang
perlu dipersiapkan adalah :
1. Kepastian
kawasan dan distribusi lahan hutan.
Kepastian
wilayah kelola berkaitan dengan lahan dan akses masyarakat terutama pada
kawasan yang saat ini dinyatakan sebagai Hutan Negara, serta status dan fungsi
kawasan. Kepastian wilayah kelola yang dimaksud bukan membagi-bagikan
kepemilikan lahan tapi lebih pada kepastian akses pengelolaan jangka panjang.
Sistem
Plasma dan Inti
Sistem ini
meniru prinsip inti – plasma pada perkebunan, di mana petani-petani kecil
mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung dalam suatu
serikat untuk menjual produk perkebunannya.
Pada umumnya petani-petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan
perkebunan besar dan sekaligus menampung produk petani-petani kecil tersebut.
Prinsip ini
berpeluang untuk diterapkan pada PHSK. Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara
dapat menjadi inti yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pembelian
produk-produk dari hutan skala kecil.
Dalam
prakteknya, sistem inti – plasma ini telah mulai diterapkan pada pengelolaan
HTI PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara. PT. TPL bertindak sebagai
inti yang menyediakan sarana produksi dan bimbingan teknis dalam kegiatan
pembangunan tanaman, sedangkan masyarakat sebagai plasma menyediakan lahan yang
umumnya merupakan lahan komunal (marga) dan tenaga kerja. Masyarakat memperoleh
pendapatan dari upah pembangunan hutan tanaman ekaliptus dan persentase dari
harga jual kayu kepada perusahaan. Dalam hal ini mekanisme penentuan harga dan
besarnya persentase bagian untuk masyarakat ditetapkan berdasarkan kesepakatan
bersama antara perusahaan dan petani yang dimediasi oleh pemerintah daerah.
Skim ini telah terbukti dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat
rata-rata sebesar Rp 575 ribu per ha per tahun atau rata-rata Rp 7,3 juta per tahun atau kurang lebih Rp 58,6
juta dalam satu daur 8 tahun dengan luasan andil rata-rata 12,75 ha. Kolaborasi
ini secara nyata telah mengurangi terjadinya sengketa lahan antara masyarakat
dengan perusahaan (Darwo et al, 2004).
2. Kelembagaan unit
usaha dan kepastian unit usaha sebagai bentuk pengelolaan.
Kelembagaan
unit usaha menjadi sangat penting sebagai alat bukti bahwa PHSK memiliki aturan
main yang jelas dan mekanisme pertanggung-jawaban atas hak kelola yang
diberikan. Aspek ini menjadi prasyarat yang harus dikembangkan berdasarkan
kelembagaan lokal praktek PHSK. Kejelasan tata kelola hak, kewajiban dan
tanggung-jawab serta insentif dalam pengelolaan sumberdaya menjadi dasar
pengembangan kapasitas kelembagaan unit usaha pengelolaan hutan.
Kepastian
unit usaha berkaitan dengan skim ekonomi dimana modal, pengetahuan lokal, akses
informasi, pengembangan komoditi, dan pasar menjadi substansi dasar dalam
praktek PHSK. Kepastian unit usaha digunakan juga sebagai instrument dalam
melakukan mandat usaha ekonomi yang layak untuk dikelola dan memberikan
kepastian hasil dan peningkatan ekonomi masyarakat. Banyak contoh kasus
kurangnya akses informasi terhadap harga mengakibatkan kayu dari hutan skala
kecil (hutan rakyat) dihargai rendah atau sangat rendah sehingga menjadi
disinsentif bagi masyarakat dalam mengelola hutannya.
3. Peningkatan
kapasitas manajerial dan teknik.
Dalam
pengembangan PHSK, sumberdaya manusia pengelola dan pendamping teknis menjadi
kebutuhan penting. Persiapan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
adalah prasyarat mutlak karena PHSK tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan
subsisten masyarakat tetapi lebih besar pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pada banyak kegiatan pengembangan kehutanan masyarakat,
rendahnya kemampuan teknik dan manajerial, termasuk strategi pemasaran produk
dan pemilihan jenis telah mengakibatkan kegagalan. Oleh karena itu diperlukan
pengembangan kapasitas masyarakat terutama dalam menyerap teknik pengelolaan
sumberdaya yang sederhana dan tepat. Peningkatan teknik pengolahan hasil juga
dapat memberikan peningkatan nilai tambah lokal, sehingga masyarakat dapat
menerima manfaat yang lebih besar dari sumberdaya hutan yang mereka kelola.
4. Perencanaan
pengelolaan sumberdaya hutan secara akurat.
Sekurangnya
unsur-unsur perencanaan paling sedikit memuat :
a.
Data dasar potensi hutan,
keadaan sosial ekonomi masyarakat melalui kegiatan inventarisasi yang akurat.
b.
Tujuan dan sasaran pengusahaan
yang jelas
c.
Memiliki program dan kegiatan
yang jelas
d.
Dukungan kelembagaan dan pendanaan
e.
Pengawasan, monitoring dan evaluasi
Perencanaan tersebut harus melalui proses
yang partisipatif dengan melibatkan semua komponen masyarakat. Partisipasi
merupakan proses dalam perencanaan dan merupakan bukan tujuan. Tujuan PHSK
berbasis masyarakat adalah terwujudnya hutan yang memiliki keseimbangan fungsi
lingkungan, sosial dan ekonomi.
Luas
Minimum
Tahap kritis dalam perencanaan pembangunan
hutan skala kecil adalah seberapa luas hutan skala kecil yang akan ditanami
setiap tahunnya. Pertanyaan ini akan
menentukan keputusan pertimbangan anggaran, praktek pengelolaan hutan,
perencanaan lingkungan dan perencanaan pengembangan pembiayaan dan pendapatan.
Luas minimum unit manajemen hutan skala kecil
dapat ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
o
Berapakah
luasan minimum yang dapat menghasilkan pengembalian modal ?
o
Jarak
dari lokasi pengolahan kayu atau pasar yang berpengaruh terhadap skala ekonomis
ukuran petak tegakan.
o
Daur
pengelolaan. Pada umumnya digunakan daur ekonomis/finansial sesuai dengan
tujuan perusahaan Beberapa jenis tanaman
dengan daur nya masing-masing seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1.
Berbagai daur jenis tanaman kehutanan
No
|
Jenis Tanaman
|
Daur
|
1
|
Jati
|
40 – 80 tahun
|
2
|
Pinus
|
25 tahun
|
3
|
Damar
|
20 – 25 tahun
|
4
|
Mahoni
|
30 – 60 tahun
|
5
|
Sonokeling
|
40 – 60 tahun
|
6
|
Rasamala
|
40 – 60 tahun
|
7
|
Meranti
|
70 tahun
|
8
|
Sengon
|
8 tahun
|
9
|
Mangium
|
8 – 15 tahun
|
10
|
Gemelina
|
7 – 15 tahun
|
Dalam tegakan seumur terdapat
dua tipe hasil tegakan yaitu hasil akhir (hasil utama) dan hasil antara
(tebangan penjarangan). Di Selandia Baru, penjarangan komersial Pinus radiata pada umumnya dilakukan
pada umur 11 tahun ketika volume kayu yang dihasilkan 0,25 – 0,35 m3.
Penjarangan ini akan mengeluarkan pohon sebanyak 300 – 400 batang sehingga
jumlah pohon yang tinggal sekitar 1100 pohon dari 1400-1500 pohon yang ditanam
yang akan menghasilkan kayu perdagangan sekitar 0.12 m3 (Ministry
of Forestry dan New Zealand Forest
Research Institute, 1996).
Kelas
Perusahaan
Pemilihan jenis yang
tepat merupakan pertimbangan penting dalam mengelola hutan dengan luasan yang
kecil. Pemilihan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomis tinggi akan mereduksi besaran biaya tetap per meter
kubiknya. Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk memilih jenis tanaman yang paling sesuai baik untuk hutan
rakyat maupun hutan di perusahaan hutan jati di Jawa seperti pada Tabel 2.
Tabel 2.
Nilai NPV, BCR dan IRR beberapa jenis tanaman pokok pada PHSK
No
|
Jenis
|
NPV (Rp.)
|
BCR (%)
|
IRR (%)
|
1
|
Sengon
|
5.789.949
|
1,97
|
45
|
2
|
Mahoni
|
4.819.049
|
1,53
|
35
|
3
|
Jati
|
5.011.623
|
1,50
|
23
|
(Sumber : Herawaty, 2001)
Pemilihan jenis berdasarkan analisis hirarki
menunjukkan bahwa di Ciamis Jawa Barat tanaman mahoni, sengon dan jati
merupakan pilihan utama ditanam oleh masyarakat. Jenis tanaman lain adalah akasia (Acacia mangium). Dengan daur finansial
yang cukup pendek (dapat dipanen pada umur 7 – 8 tahun), hasil kayu yang
relatif besar mencapai 73 – 120 m3/ha, jenis ini sangat prospektif
untuk ditanam pada PHSK.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan, penanaman
tanaman pokok juga dapat diselingi dengan tanaman pertanian dan tanaman berdaur
pendek lainnya dengan sistem tumpang sari maupun agroforestry. Selain
memberikan tambahan penghasilan, sistem ini juga mendukung keberhasilan tanaman
pokok yang ditanam.
Teknik
Pemanenan
Penggunaan penggergajian
kayu yang mudah dipindahkan (portable
sawmill) dari satu lokasi ke lokasi penebangan lain dalam beberapa kasus
sangat mendukung PHSK seperti halnya pada sistem hutan kerakyatan di Sanggau
Kalimantan Barat dan PHSK di Papua New Guinea. Setelah tegakan ditebang, kayu
dapat diolah langsung di dalam hutan sehingga akan mengurangi biaya
transportasi dan meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat lokal. Selain itu
pengolahan kayu portable ini juga
memiliki beberapa keunggulan lain, seperti :
- Teknologi sederhana dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat
- Memberikan pengetahuan dan teknologi baru bagi masyarakat
- Memberikan peluang bisnis dan lapangan kerja baru
- Tingkat pemanenan tidak merusak lingkungan
5. Pemasaran
hasil hutan
Pada banyak kasus, pemasaran hasil hutan merupakan faktor
penting dalam pengembangan PHSK. Harga kayu yang rendah dan tidak adanya pasar
yang menampung kayu masyarakat tersebut mengakibatkan banyak program PHSK tidak
berjalan dengan baik.
Dengan pola inti – plasma atau perserikatan, plasma dapat
memasarkan kayu yang mereka panen kepada inti atau perserikatan tersebut.
Adanya posisi tawar yang baik tersebut akan mendorong terciptanya tingkat harga
yang adil.
Sebelum pemanenan dilakukan perlu diperhatikan
cara penjualan yang dipilih. Terdapat
tiga model penjualan tegakan yang dapat dipilih yaitu penjualan berdasarkan
blok tanaman, penjualan dalam volume kayu perdangan dan penjualan berdasarkan
kualitas kayu. Skim penjualan ini perlu diperhatikan karena begitu kesepakatan
jual beli disepakati, antara pemilik hutan dan pembeli memiliki hak dan
kewajiban terhadap hutan yang diperjualbelikan.
6. Mekanisme
penyelesaian sengketa
Mekanisme
penyelesaian sengketa lahan dan sosial (terutama pada lahan negara) dalam memberikan kepastian dan perlindungan
hak pengelolaan dan unit usaha kelola. Penyelesaiakan sengketa yang berkaitan
dengan akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dapat dijadikan instrument
untuk melakukan tahapan pergeseran perubahan sikap dan orientasi, mekanisme
institusional dan administratif, dan metode manajemen.
7. Kebijakan yang
mendorong dan melindungi kepastian hak dan insentif pengelolaan jangka panjang.
Berbedanya kondisi PHSK
berbasis masyarakat ini dibandingkan dengan pengusahaan hutan produksi skala
besar (HPH) mengakibatkan kewajiban iuran kehutanan yang juga berbeda. Apabila besarnya kewajiban
tersebut diterapkan sama dengan HPH maka akan mengurangi besarnya nilai manfaat
bersih yang diterima sehingga menjadi tidak layak menjadi tumpuan kesejahteraan
masyarakat.
Rendahnya penghasilan atau
permodalan yang dimiliki petani harus diatasi dengan pemberian insentif dan
subsidi oleh pemerintah kepada pemilik/pengelola hutan. Bantuan
tersebut dapat berupa subsidi
keuangan, dukungan teknis, mekanisasi sistem pamanen dan tenaga pedamping
(Brand, 2002). Di Jepang, PHSK mendapat
bantuan dari pemerintah berdasarkan Basic
Forestry Law tahun 1964. Pemilik
hutan memperoleh subsidi sebesar 68 % dari biaya penanaman dan penjarangan non
komersial. Selain itu setiap tahun
pemerintah menyediakan dana untuk pendukung pembangunan sarana jalan dan
mesin-mesin untuk memajukan kawasan perdesaan (Ota, 2002).
8. Pengawasan,
monitoring, dan evaluasi
Pengawasan,
monitoring dan evaluasi dikerjakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat sendiri.
Kedua institusi ini harus merumuskan hak dan kewajiban dalam kontek pengawasan,
monitoring, dan evaluasi. Dalam
mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan PHSK perlu ditetapkan kriteria dan
indikator pengelolaan yang lestari seperti aspek ekonomi, ekologi dan sosial.
Kriteria-kriteria tersebut harus disesuaikan dengan kondisi atau tipologi suatu
daerah dan disesuaikan dengan konsep “small forest” seperti misalnya ukuran
luasnya berbeda-beda antar daerah dan negara.
Sertifikasi juga dapat dijadikan sebagai salah
satu cara untuk mengetahui kinerja PHSK yang lestari. Di Jepang, Forest
Stewardship Council (FSC) merupakan salah satu lembaga yang memberikan
sertifikasi lingkungan dalam PHSK.
Beberapa perusahaan PHSK di Jepang telah menerima sertifikat
lingkungan. Perusahaan ini mengelola
hutan seluas 3300 ha dengan 200 pemilik yang berbeda (Ota, 2002). Selain
memberikan sertifikasi bagi pengelola yang memiliki kinerja baik, monitoring
juga difungsikan untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan yang dihadapi dalam
PHSK.
E.
Penutup
Pengelolaan hutan skala kecil memberikan alternatif baru dalam pengelolaan
hutan produksi yang memberikan kesempatan kerja dan kesejahteraan yang lebih
baik bagi masyarakat. Di
Indonesia PHSK dapat diterapkan diantaranya dalam bentuk hutan rakyat,
agroforestary dan manajemen
kolaborasi antara inti - plasma. Hal ini
tentunya harus diimbangi dengan aturan
main yang jelas, terutama mengenai status kepemilikan dan pembagian hasil pada
lahan-lahan yang dimiliki negara. Satu hal yang harus tetap dipegang adalah
bahwa PHSK berbasis masyarakat ini harus digali dari kearifan tradisional yang
terdapat dalam masyarakat tersebut dan tidak dapat dipaksakan sebagai suatu
bentuk yang baku.
DAFTAR PUSTAKA
Bliss,
JC. 2003. Sustaining
Family Forests in Rural Landscapes: Rationale, Challenges, and an Illustration
from Oregon, USA. Small-scale Forest
Economics, Management and Policy, 2(1): 1-8, 2003
Brand
H. 2002.
The Economic Situation of Family-farm Enterprises in the Southern Black Forest.
Small-scale Forest Economics,
Management and Policy, 1(1): 13–24.
Departemen
Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003.
Kerjasama Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan
dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik.
Harrison, S.R, Herbohn, J.L and Niskanen A.J. 2002. Non-industrial, Smallholder,
Small-scale and Family Forestry: What’s in a Name?. Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1):
1–11.
Helms,
J.A., 1998. The Dictionary of Forestry. Society of American Foresters and CABI
Pubilshing, Bethesda.
Herawaty
T. 2001. Pengembangan Sistem
Pengambilan Keputusan dengan Kriteria Ganda dalam Penentuan Jenis Tanaman Hutan
Rakyat. Tesis Pada Program Pasca Sarjana
IPB. Tidak
Diterbitkan
Hyttinen, P. 2002.
Small Scale Forestry and Sustainable Rural
Development IUFRO Occasional Paper No. 16 IUFRO – 110 Years : 13 – 16
Manik, D., 2004. Analasis Pengembangan
Pola PIR pada HTI PT. Toba Pulp Lestari. Skripsi. Jurusan Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Simalungun Pematangsiantar. Tidak Diterbitkan.
Ministry
of Forestry and the New Zealand Forest Research Institute, 1996.
Establing and Harvesting A Small
Forest. The Ministry of Forestry and the New
Zealand Forest Research Institute Ltd.
Ota, J.
2002. The Shrinking Profitability of
Small-scale Forestry in Japan
and Some Recent Policy Initiatives to Reverse the Trend. Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1):
25–37.
Papua New Guinea.
Small-scale sawmilling a good way forward.
http://www.wrm.gov.uy/Papua New Guinea
Small-scale sawmilling a good way forward.htm
[20 Januari 2005]