Oleh : Aswandi
Salah satu pertanyaan yang selalu mengemuka
apabila kita berbicara tentang kelestarian hutan adalah apa yang menyebabkan
hutan produksi yang dikelola HPH banyak yang rusak atau memiliki produktivitas
rendah.
Berbagai jawaban tentang penyebab kerusakan
dapat kita peroleh seperti illegal
logging, kebakaran hutan, perambahan, penegakan hukum yang lemah, tidak
dilakukannya pembinaan tegakan dan sebagainya.
Banyaknya hutan bekas tebangan yang rusak,
tentu saja membuat para rimbawan gerah. Kegerahan tersebut terlihat dengan
semakin seringnya TPTI diusik-usik ‘kemapanannya’ sebagai sistem silvikultur di
hutan alam. Ada yang beranggapan tidak cocok lagi diterapkan pada hutan bekas
tebangan terutama dengan produktivitas rendah, tidak punya dasar ilmiah yang
cukup sehingga perlu direvisi, dan berbagai alasan lainnya.
Sesungguhnya apa yang salah dengan TPTI?
Konsepnya yang salah atau pelaksanaannya.
Apabila kita berpikir pelaksanaan yang salah akibat konsep yang salah,
maka tentu saja kita harus segera merevisi atau mengganti konsep tersebut.
Tetapi pelaksanaan yang salah juga dapat diakibatkan oleh berbagai
eksternalities seperti lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan berbagai faktor
lainnya yang saling terkait.
Kompleks!
Bagi yang berpikir konsep TPTI perlu
diganti, telah muncul berbagai sistem baru seperti TJTI, TPTJ dan terbaru TPTII
yang berbeda dengan TPTI. Bagi yang masih memandang TPTI tetap sesuai, juga
telah muncul pemikiran untuk merevisi sistem tersebut, terutama rangkaiannya
yang panjang dengan yang lebih sederhana.
Memang (telah kita sadari) rangkaian
tahapan TPTI belum didasari pertimbangan ilmiah yang cukup, sehingga
efektivitas tahapan TPTI sering diperdebatkan. Sering muncul pertanyaan perlu
tidaknya pengkayaan, pembebasan dan penjarangan.
Belum lagi akses yang sulit pada hutan rawa
setelah tebangan terutama setelah jalan cabang (rel) dibongkar mengakibatkan
hampir tidak ada kegiatan pembinaan setelah 2 tahun setelah penebangan.
Penyederhanaan
Menggantikan TPTI dengan system silvikultur
yang baru atau merevisinya (menyederhanakan)? Dengan mempertimbangkan resiko
ekologis yang cukup besar apabila menerapkan sistem silvikultur yang relatif
baru, rasanya revisi (penyederhanaan) rangkaian TPTI merupakan hal yang layak
dipertimbangkan.
Aksesibilitas
yang relatif sulit pada hutan rawa gambut merupakan salah satu pembatas
kegiatan pembinaan tegakan setelah jalan rel dibongkar. Oleh karena itu
kegiatan pembinaan tegakan seperti pembebasan, pengkayaan dan penjarangan sebaiknya
segera dilakukan setelah penebangan.
Sulitnya
mengetahui kinerja kegiatan perapihan karena kondisi tegakan masih cukup
terbuka dan kemungkinan terduplikasi dengan kegiatan pembebasan maka tahapan
ini diintegrasikan dengan kegiatan ITT sehingga ITT dapat dimajukan dari Et+2 menjadi Et+1 sehingga pengadaan
bibit lebih segera dilakukan dan penanaman pengkayaan/ rehabilitasi pada Et+2.
Rekomendasi
·
Untuk meningkatkan
kinerja pengawasan kegiatan pembinaan maka perlu diperkuat kembali peran dan
tanggung jawab berbagai pihak pemangku kebijakan.
·
Penyederhanaan
tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan
perapihan, pembebasan dengan ITT sehingga kegiatan berikutnya dilakukan lebih
awal.
·
Rangkaian TPTI (pembinaan
tegakan) yang disederhanakan menjadi : 1. ITT terintegrasi dengan pembebasan
dan penjarangan (Et+1). 2. Pengadaan bibit (Et+1). Penanaman
pengkayaan/rehabilitasi (Et+2). Penjarangan lanjutan bersifat opsional.
·
Kegiatan
pengkayaan/rehabilitasi lebih diarahkan pada areal terbuka dengan jenis yang
tepat.
|
Lebih
baik sederhana tapi efektif bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar