Selasa, 27 Maret 2012

AGROFORESTRY DI DANAU TOBA


Oleh : Aswandi


Pemilihan Jenis
Pada beberapa tempat di Simalungun dan Karo pola-pola agroforestry (wana tani) telah di praktekkan sejak lama. Di beberapa desa tua di Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, petani telah menanam kopi (Coffea robusta), jagung (Zea mays), cengkeh, kulit manis (Cinnamomum sp), ingul/suren (Toona chinensis), durian (Durio zibethinus) dan kemiri  (Aleiritus moluccana) pada suatu bentang lahan. Sedangkan di beberapa tempat di Karo (misalnya Kecamatan Merek), masyarakat menanam cabe diantara tanaman kopi serta memagari tanaman mereka dengan lantoro/kemlandingan atau macadamia sebagai sekat bakar. Sekat bakar tersebut juga berfungsi sebagai batas lahan milik mereka.
Apabila dibandingkan, terdapat sedikit perbedaan jenis tanaman yang ditanam di daerah Simalungun, Karo dan Samosir. Karena di daerah Simalungun (terutama) di sekitar Danau Toba  memiliki kelerengan lebih tinggi, jenis-jenis tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kulit manis, kemiri, MPTs seperti durian dan suren sebagai tanaman kehutanan lebih disukai ditanam. Dengan harga yang cukup baik, tanaman kopi menjadi andalan masyarakat di wilayah ini. Sedangkan kulit manis, kemiri dan durian lebih sebagai hasil sampingan dan kayu ingul sebagai tabungan mereka. Kayu ingul sangat disukai karena dapat digunakan sebagai bahan perumahan dan kapal, kerajinan ukiran serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada beberapa lokasi yang lebih datar seperti di Kecamatan Purba, masyarakat Simalungun juga telah menanam tomat, cabe, dan berbagai holtikultur lainnya secara intensif.
Dengan pola yang lebih intensif, praktek pertanian di Kabupaten Karo jauh lebih maju dibandingkan Simalungun dan Samosir sehingga telah menjadi sentra sayur-sayuran andalan di Sumatera Utara. Produk pertanian dari wilayah ini seperti jeruk, tomat, cabe, lobak/kol, sawi, dan beberbagai hortikultura lainnya dipasok ke provinsi tetangga seperti NAD dan Riau bahkan ke Jawa dan Singapura. Dengan pola yang lebih intensif dan  mengandalkan pupuk anorganik dan organic, pola tanaman campuran multistrata relatif tidak banyak dipraktekkan masyarakat. Umumnya masyarakat hanya menanam suren, lantoro/kemlandingan dan makadania sebagai sekat bakar atau batas wilayah. Jikapun ada masyarakat lebih menyenangi tanaman kopi yang ditanam diantara bedengan mulsa tanaman cabe atau tomat.
Dibandingkan Karo dan Simalungun, praktek bertani masyarakat Samosir lebih tertinggal. Walaupun demikian, praktek wana tani juga telah dikenal masyarakat. Di Simanindo, masyarakat menanam tanaman kemiri, kopi, suren, mangga parapat, dan nangka diantara tanaman pertanian mereka seperti jagung. Tanaman kemiri dan kopi sangat disukai karena buah yang dipanen dapat bertahan lama sehingga dapat dijual ketika harga sedang tinggi. Pohon nangka dan mangga parapat sesungguhnya sangat disukai masyarakat tetapi karena selain menghasilkan buah yang bernilai ekonomi baik, jenis ini juga sangat disenangi sebagai bahan baku kerajinan patung, penebangan kayu ini tidak dapat dihindari. Sayangnya sangat sedikit usaha-usaha yang telah dilakukan untuk meregenerasi jenis mangga parapat dan nangka. Saat ini sebagian besar ‘merek’ mangga parapat yang diperdagangkan bukanlah berasal dari pulau Samosir atau daerah Parapat sendiri melainkan dari daerah Perbaungan (Serdang Bedagai). Apabila tidak ada usaha-usaha untuk menanam kembali mangga parapat dan nangka kedua jenis ini akan semakin langka di Samosir.
Dengan harga yang baik, pemasaran yang mudah, tanaman kopi ateng (dahulunya berasal dari daerah Aceh Tengah – Gayo) yang berumur pendek yakni pada umur 2 tahun telah dapat dipanen hingga berumur 10 tahun sangat disukai masyarakat sehingga mulai secara sporadic ditanam masyarakat di Simalungun, sebagian Karo dan Samosir. Dengan luas lahan hanya 20 m x 20 m (1 rantai dalam sistem lahan batak) setiap bulan rata-rata dapat dipanen beberapa kaleng biji kopi kering atau setera dengan harga 1-2 juta rupiah. Tidak banyak biaya yang dikeluarkan karena pemupukan dapat dilakukan dengan pupuk organik dari kotoran kerbau yang banyak dipelihara masyarakat. Sedangkan waktu yang tersita tidak terlalu banyak kecuali untuk membersihkan gulma dan pemanenannya. Pada permulaan tanaman kopi ditanam di Samosir banyak petani yang mengalami kegagalan akibat kesembronoan memanen kopi. Pada saat itu biji kopi dipanen tidak dengan dipetik biji per biji tetapi lebih disentak sehingga juga merontokkan buah bakal biji yang terdapat di ujung ranting.
Berdasarkan wawancara dengan petani, jenis kopi ini juga disukai karena tidak diperlukan tenaga yang besar untuk memeliharanya sehingga sangat jarang ditemui kaum laki-laki di ladang kopi di Samosir. Bahkan ada ungkapan ‘tabu’ untuk mengetahui berapa harga kopi di pasaran oleh kaum laki-laki karena urusan memanen dan menjual kopi tersebut merupakan urusan perempuan. Peran laki-laki di kebun kopi hanya pada saat kebun tersebut dibangun yakni saat pembukaan lahan, pembuatan lubang tanam dan penanaman.
Disukainya beberapa jenis tanaman ini oleh masyarakat lebih atas kesadaran sendiri. Karena pada umumnya masyarakat Batak (terutama Batak Karo) memiliki budaya suka meniru keberhasilan orang lain, maka praktek-praktek bertani di tempat lain yang dicobakan dan berhasil oleh beberapa orang terdahulu kemudian menyebar luas di masyarakat. Menurut masyarakat, terutama di Samosir sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan pemerintah maupun LSM untuk mendorong keberhasilan sector pertanian mereka. Beberapa tahun terakhir terdapat lembaga luar negeri yang mengembangkan jenis kemiri dan vanili di Samosir, akan tetapi karena tata niaga kemiri tidak dibangun dengan baik (terutama akibat biaya transportasi yang tinggi) kegiatan ini akhirnya tidak berlanjut.

Pembagian Waktu
Gender sangat nyata dalam praktek pertanian di wilayah pengamatan terutama di Samosir. Apabila kita mengitari pulau Samosir dari Tomok (Simanindo) menuju Ambarita, Simarmata, Pangururan, Palipi, Nainggolan dan Onan Runggu sangat jarang kita temui kaum lelaki di ladang dan kebun pada siang – sore hari. Di kebun kopi, sawah, ladang sering kita temui kaum perempuan menyiangi tanaman, merawat tanaman memanen kopi, dan berbagai pekerjaan lainnya. Sedangkan kaum laki-laki lebih banyak ditemui di kedai kopi atau lapo tuak menghabiskan waktu mengobrol menghabiskan waktu membicarakan berbagai hal.
Secara sepintas, pembagian waktu seperti ini tentu tidak seimbang dan memberatkan pihak perempuan. Akan tetapi apabila kita amati lebih jeli, terdapat pola pembagian waktu antara kaum laki-laki dan perempuan di ladang/kebun. Umumnya para petani terutama kaum lelaki ke ladang mulai ketika matahari sedikit naik dari ufuk (jam 6 pagi) dan mengerjakan pekerjaan yang cukup berat seperti mencangkul, membajak lahan, dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga fisik lainnya. Setelah matahari cukup tinggi, kaum lelaki ini kemudian beristirahat atau mengerjakan pekerjaan lainnya (terutama yang langsung menghasilkan uang) seperti menjadi buruh angkut di pasar, menarik becak, pembuat rumah, penebang pohon, membuat kapal, mengukir dan sebagainya. Pada masa istirahat inilah kaum laki-laki banyak ditemui di kedai kopi/ lapo tuak.
Kaum perempuan memulai aktivitasnya setelah matahari terbit untuk menyiapkan segala keperluan keluarga di rumah. Setelah menyiapkan dan meninggalkan bekal sarapan dan makan siang untuk anggota keluarga lainnya, kaum perempuan menyusul kaum laki-laki (suami) ke kebun dan ladang. Setelah bekerja beberapa saat bersama, sekitar jam 7-8 pagi istirahat sarapan pagi dengan bekal yang dibawa kaum perempuan dari rumah. Setelah hari cukup tinggi dimana kaum laki-laki meninggalkan kebun/ladang untuk istirahat dan bekerja di tempat lain, kaum perempuan tetap tinggal di ladang hingga sore hari mengerjakan pekerjaan merawat tanaman dan memanennya. Bahkan pada beberapa tempat di Samosir, pekerjaan menjual hasil panen seperti kopi dan sayur mayur dianggap merupakan pekerjaan perempuan. Bahkan menjadi hal yang tabu apabila seorang lelaki mengetahui harga pasar dari hasil pertanian tersebut.
Walaupun tidak terlihat menyolok seperti halnya di Samosir, alokasi waktu kaum perempuan juga lebih banyak di kebun dan ladang dibandingkan kaum laki-laki di Karo dan Simalungun. Akan tetapi karena praktek pertaniannya lebih intensif, kaum laki-laki juga banyak ditemui menyemprot tanaman dengan zat kimia dan mendorong traktor dan memanen kol, kentang dan wortel. Alokasi waktu di ladang kaum laki-laki di kedua lokasi ini lebih besar dibandingkan Samosir. Tidak terlalu banyak kita temui kaum lelaki di lapo tuak/ kedai kopi di sepanjang jalan dari Parapat (Simalungun) – Merek (Karo), bahkan intensitas yang lebih rendah terdapat di Karo.
Alasan-alasan ekologi masyarakat menanam tanaman berkayu pada lahan milik mereka tidak bisa banyak digali karena sebagian besar penanaman pohon lebih didasarkan atas kepentingan ekonomi (tabungan). Tidak seperti di derah Dairi dan Pakpak Bharat yang didominasi hutan lindung dengan karakteristik lahan dengan solum yang lebih tebal sehingga apabila terjadi perubahan/ keterbukaan lahan yang cukup besar dapat mengakibatkan bencana longsor, jarang sekali terjadi peristiwa tanah/batu longsor di daerah pinggir Danau Toba di Simalungun, Karo dan Samosir yang memiliki ketebalan tanah yang tipis dan struktur bebatuan yang cukup kompak (gunung cadas). Jarangnya peristiwa tanah longsor bahkan banjir ini juga diduga mengakibatkan masyarakat tidak begitu peduli sebetulnya terhadap usaha-usaha menanam pohon sebagaimana masyarakat di wilayah lain yang sering mengalami bencana erosi dan banjir. Akan tetapi, terdapat kesadaran untuk tidak menebang pepohonan yang berada di hulu mata air di ketiga lokasi ini. Karena umumnya masyarakat di Pematang Sidamanik – Simalungun hidup di sekitar alur-alur (sungai kecil) di lereng-lereng bukit di sekitar Danau Toba, larangan menebang pohon dengan alasan akan mengurangi sumber air masih dipatuhi masyarakat.

Teknik Pengolahan Tanah
Karena terbatasnya areal pertanian pada wilayah dengan topografi datar, masyarakat juga bercocok tanam pada daerah-daerah lereng di sekitar Danau Toba. Di sekitar danau yang umumnya berupa lahan basah, masyarakat bercocok tanam padi sawah walaupun tidak dengan pengairan teknis. Pada wilayah yang lebih dataran yang kering di sekitar danau masyarakat bercocok tanam cabe, tomat, bawang merah dan sayur-sayuran. Wilayah ini cukup subur (endapan cukup tebal) karena merupakan wilayah endapan dari erosi lereng yang terdapat di sekitarnya. Wilayah persawahan di sekitar danau banyak terdapat di kecamatan Simanindo dan Sianjur Mual-mula (Limbong Sagala) di Samosir dan Sipolha Pematang Sidamanik di Simalungun. Sedangkan areal persawahan jarang terdapat di Karo. Tanaman kemiri juga banyak ditanam di lembah di sekitar danau di Samosir.
Di daerah Pangururan dan sekitarnya areal persawahan terdapat di sekitar danau hingga sedikit lebih masuk ke dalam pulau. Untuk mengairi areal persawahan tersebut belum terbangun irigasi teknis sehingga masih mengandalkan curah hujan. Sulitnya memeroleh pengairan ini juga membatasi usaha-usaha pengembangan pertanian di Samosir. Dapat diibaratkan pulau Samosir ini sebagai pulau kering ditengah lautan air padahal juga terdapat dua buah danau diatas pulau dan ratusan air terjun dan alur-alur sungai di celah-celah bukit.
Pada wilayah yang lebih berlereng masyarakat umumnya menanam kopi, cengkeh dan kayu manis serta tanaman kehutanan seperti suren dan petei. Di wilayah ini, masyarakat memperoleh air dari mata air yang dialirkan dengan pipa atau bambu ke wilayah pertanian masyarakat (terlihat di Pematang Sidamanik Simalungun). Pada lereng-lereng yang dilewati alur-alur sungai sangat disukai masyarakat untuk areal pertanian dan perkebunan. Lahan ini dahulunya diperkirakan merupakan areal hutan marga yang dibuka untuk perladangan dengan rotasi bera beberapa tahun.
Di sepanjang kawasan hutan lindung di daerah Pematang Sidamanik (Simalungun) terutama yang berada di pinggir jalan, banyak ditemukan praktek penanaman kopi di bawah tegakan tusam yang telah masuk kawasan hutan. Masyarakat menanam kopi hingga jarak 20 meter ke dalam kawasan dengan perjanjian tertentu dengan pihak Dinas Kehutanan untuk menjaga hutan yang berada di atasnya. Skim ini cukup mampu mengurangi gangguan hutan, dimana terdapat indicator kepedulian masyarakat secara tidak langsung menjaga hutan dengan menjaga tanaman kopi di sekitar hutan dari penjalaran kebakaran lahan di bawahnya.

Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan dan teknik bercocok tanam masyarakat umumnya diperoleh secara turun temurun. Hanya segelintir petani yang mempraktekkan ilmu pertanian yang diperoleh dari pelatihan petani yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Ilmu pertanian yang paling diminati adalah budidaya jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti vanili, kopi dan hortikultura. Sedangkan penanaman tanaman kehutanan dilakukan dengan teknik yang sama dengan tanaman lainnya oleh masyarakat.
Bibit kopi umumnya diperoleh masyarakat dengan membibitkan sendiri sehingga umumnya kualitas bibit rendah. Sedangkan bibit sayur-sayuran diperoleh dari pembuatan sendiri jadi tanaman F1 sehingga kualitasnya juga semakin menurun. Penggunaan bibit unggul jarang digunakan karena harganya relative mahal. Bibit tanaman kehutanan seperti ingul umumnya diperoleh dari cabutan alam yang tumbuh di sekitar pohon induknya.
Kegiatan bercocok tanam umumnya dimulai dengan kegiatan pembukaan lahan pada musim kemarau sehingga bibit dapat ditanam pada awal musim hujan. Karena tidak dilakukan dengan intensif, petani di Samosir tidak begitu banyak mengeluarkan biaya untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan. Sebaliknya, intensifikasi pertanian sudah dipraktekkan di Karo dan sebagian Simalungun sehingga berita kurangnya pasokan pupuk (organic dan anorganik) sering menghiasai media cetak daerah terutama pada musim tanam. Kurangnya penggunaan bibit unggul juga mengakibatkan produksi tidak tinggi dan rentan terserang hama dan penyakit tanaman.
Kendala kesuburan tanah yang rendah umumnya dihadapi petani di Samosir terutama pada lahan-lahan yang terdapat di lereng dan di atas bukit. Kesuburan yang rendah ini dapat diakibatkan oleh sifat fisik tanah yang didominasi pasir berbatu dengan kandungan liar yang sangat rendah. Karakteristik ini mengakibatkan kemampuan mengikat hara sangat rendah. Karena kurangnya penyuluhan yang diterima, sebagian besar petani malahan menggunakan pupuk cair dan butiran yang mudah terlarut sehingga cepat sekali terjadi pelindian. Walaupun telah berulang kali dilakukan pemupukan, produktivitas tanah tetap tidak dapat ditingkatkan dan pupuk tersebut malah larut melalui aliran run-off yang kemudian terkumpul di daerah pantai di sekitar danau dan mencemari perairan. Oleh karena itu diperlukan kajian khusus tentang tanah dan teknik pemupukan yang tepat misalnya dengan menggunakan pupuk organic dan PMLT (Pupuk Majemuk Lepas Terkendali).
Penyakit dan hama yang menyerang umumnya pada tanaman cabe dan tomat. Tidak digunakan bibit unggul, obat-obatan yang kurang dan dengan dosis yang kurang atau melebihi mengakibatkan usaha pencegahan penyakit kurang berhasil dilakukan. Pada beberapa petani, akibat kurangnya penyuluhan masih ditemui praktek mencampur herbisida dan pupuk dalam satu kali penyiraman atau sekurang-kurangnya tidak membersihkan tanki semprotan dari senyawa lain sebelum memasukkan jenis pupuk yang baru sehingga memberikan dampak yang merusak bagi tanaman.
Untuk mengendalikan serangan hama petani juga melakukannya secara mekanis yakni dengan mencabut atau mematikan tanaman yang terserang hama dan penyakit. Ketika penyakit kutu dan belalang menyerang tanaman cabe dan tomat masyarakat memusnahkan tanaman mereka agar tidak menular ke tempat lain. Sama halnya dengan penyakit busuk batang dan akar yang menyerang tanaman jeruk di Karo sehingga masyarakat harus memusnakan tanamannya dalam beberapa waktu.
Di wilayah Karo dan sebagian Simalungun yang telah maju pertaniannya, para pedagang pengumpul langsung membeli hasil panen ke ladang-ladang atau pada tempat-tempat pengumpulan hasil panen. Di wilayah ini informasi harga dapat diketahui oleh semua petani sehingga resiko hasil panen dijual dengan harga rendah di bawah harga pasar dapat dihindari. Transportasi yang lancar dan jarak yang tidak jauh dari konsumen (Medan, Pematangsiantar dan kota-kota di sekitarnya) mengakibatkan harga hasil panen yang dijual cukup bersaing. Sebaliknya, masalah transportasi menjadi kendala utama dalam memasarkan produk pertanian di Samosir. Sangat jarang terdapat moda transportasi yang dapat digunakan untuk mengangkut hasil pertanian di Samosir  baik di dalam wilayah maupun membawanya ke luar wilayah. Tingginya biaya transportasi ini mengakibatkan margin keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil. Apabila dibandingkan dengan sentra-sentra pertanian di Simalungun dan Karo, produk pertanian dari Samosir kurang dapat bersaing sehingga menjadi diinsentif bagi petani Samosir mengusahakannya (apalagi kesuburan tanah rendah). Selama ini harga hasil panen pertanian lebih ditentukan oleh para pedagang pengumpul (cukong) yang memiliki alat transport sendiri mengangkut hasil panen tersebut.

Lahan Pertanian dan Hutan
Kegiatan bercocok tani masyarakat umumnya dilakukan pada lahan milik dan terdapatnya areal kawasan hutan Negara yang dipakai untuk lahan pertanian masyarakat bersifat kasuistik (terutama pada areal-areal yang telah mengalami konflik sejak lama – misal di daerah Girsang Sipangan Bolon, Pematang Sidamanik). Belum dikumpulkan data berapa luasan hutan yang telah digunakan untuk tanaman kehutanan dan pertanian – kecuali ribuan hektar hutan produksi digunakan sebagai areal HTI Ekaliptus.
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2005 (BPS, 2005), luas lahan tidur yang terdapat di Kabupaten Samosir mencapai 48 ribu hektar atau setara dengan 77,4% dari luas lahan kering yang ada di wilayah tersebut. Luasnya lahan tidur ini memiliki korelasi positif dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % dari jumlah penduduk Kabupaten Samosir yang berada di bawah garis kemiskinan dengan lebih dari 90% menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Jumlah ini meningkat menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 % (20.070 jiwa) selama periode tersebut. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap kelestarian hutan alam yang tersisa.
Umumnya lahan tersebut kosong karena jumlah tenaga kerja yang terbatas, produktivitas lahan yang semakin menurun karena telah dikelola berulang kali sedangkan pemulihan unsur hara melalui pemupukan jarang dilakukan. Di daerah Penguruan dan ronggur nihuta lahan kosong ini digunakan sebagai padang pengembalaan ternak.
Terjadinya konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah (konflik vertika) dan konflik antara marga dan dalam marga/keluarga (konflik horizontal) turun mendorong meluasnya lahan tidur. Konflik antar marga terjadi terutama antar lahan marga yang bersebelahan yang memiliki sejarah sengketa lahan yang sejak lama. Akan tetapi konflik lahan antar marga ini jarang terjadi. Sedangkan konflik antar keluarga dalam satu marga umumnya terjadi akibat kecemburuan anggota marga yang telah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari nafkah di wilayah lain atas penguasaan lahan marga oleh anggota keluarga (marga) yang masih mendiami dan mewarisi lahan nenek moyangnya.
Konflik akan semakin meruncing apabila anggota keluarga yang masih berdiam di kampung halaman adalah anak perempuan yang telah bersuami. Karena pola pewarisan lahan marga/kelaurga melalui garis keturunan anak laki-laki, pengelolaan lahan oleh suami anak perempuan tersebut dapat memancing konflik akibat kekhawatiran penguasaan lahan dan pembagian keuntungan dari pengolahan lahan tersebut. Kecemburuan tersebut pada tingkat tertentu dapat memancing perpecahan keluarga dan atau mengakibatkan masyarakat yang berada di kampung halaman mengalami kesulitan untuk mengakses dan mengolah lahan marga mereka tersebut sehingga menjadi terlantar. Semakin lemahnya kontrol dan pengakuan terhadap hukum adat mengakibatkan konflik antar keluarga dalam satu marga ini menjadi berlarut-larut dan sulit dipecahkan sehingga menjadi disinsentif bagi masyarakat yang hidup dari sector pertanian yang banyak terdapat di pedalaman Samosir.

Patner Petani Lokal
Secara sederhana pola-pola kerjasama dalam bercocok tanam sudah terdapat dalam masyarakat tradisional Batak di Samosir. Para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya akan menyewakan lahan pertanian mereka dengan pembagian hasil 50 : 50 dengan petani penggarap. Petani penggarap menyediakan semua sarana produksi pertanian.
Pada sistem pertanian yang lebih intensif dimana permodalan untuk mencukupi sarana produksi pertanian dibutuhkan lebih besar, kredit usaha tani telah berkembang di Karo. Banyak ditemui kelompok-kelompok tani yang ikut serta dalam koperasi dan meminjam uang di Bank untuk mencukupi modal mereka. Di wilayah Karo juga banyak ditemui pendamping/ penyuluh yang berasal dari industry pupuk dan sarana pertanian yang juga memberikan penyuluhan pertanian dalam memasarkan produk mereka. Pendamping dari Industry pertanian ini juga membantu masyarakat dalam pengadaan bibit, penyiapan lahan tanaman hingga pengendalian hama penyakit dan pemasaran hasil panen. Apabila para petani setia dengan produk pupuk dan obat-obatan dari industry tersebut, pendampingan dilakukan lebih intensif.
Berdasarkan pengalaman masyarakat, peran pemerintah tidak banyak dalam pemasaran produk pertanian. Khusus untuk tanaman kehutanan, setelah pemerintah daerah melarang penebangan kayu pinus di Simalungun dan Samosir sangat sulit ditemui kayu pinus di pasaran. Akan tetapi aturan ini menguatkan peran instansi kehutanan (Dinas Kehutanan) di daerah dimana setiap izin menebang kayu dari hutan rakyat harus dikeluarkan oleh mereka. Semakin sulitnya memperoleh kayu di wilayah ini mengakibatkan tanaman pinus hasil penghijauan tahun 70-80an banyak ditebang masyarakat karena nilai ekonominya yang tinggi.
Penyuluhan kehutanan mulai aktif kembali dilakukan setelah program RHL/Gerhan bergulir tahun 2003. Selain itu juga terdapat tenaga penyuluhan dari Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan dan Pertanian. Akan tetapi, sangat disayangkan penyuluhan yang dilakukan lebih bersifat sektoral dan tidak terkoordinasi dengan baik sehingga terlihat sering tumpang tindih dengan tujuan yang tidak jelas. Berbagai ketidakjelasan ini mengakibatkan masyarakat menjadi apatis atas berbagai program yang ditawarkan, sehingga dorongan untuk menghadiri kegiatan penyuluhan lebih didasarkan atas dorongan “adanya uang transport” yang mereka terima atas keikutsertaan mereka mengikuti penyuluhan. Ketika harapan mereka untuk memperoleh uang pengganti tersebut tidak terpenuhi, kekecewaan mereka tersebut akan terus tertanam yang akhirnya menimbulkan rasa antipati terhadap berbagai program pembangunan yang ditawarkan bahkan sebagian oknum masyarakat tidak segan-segan mencap tenaga penyuluh tersebut sebagai pembohong.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar