Selasa, 27 Maret 2012

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI DTA DANAU TOBA


Oleh : Aswandi

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba sering terjadi akibat perbuatan manusia (antrophogenic fire) dan sangat jarang dipicu oleh peristiwa alam seperti petir dan panas bumi. Pola kebakaran umumnya dimulai dari pembakaran lahan untuk areal pertanian atau lahan kosong/tidur yang hanya ditumbuhi oleh rumput dan alang-alang yang kemudian merembet ke areal hutan. Tingginya tingkat kelerengan lahan yang mendominasi DTA Danau Toba dan rendahnya kepedulian masyarakat untuk mencegah perambatan kebakaran dari areal milik ke kawasan hutan mengakibatkan kerusakan vegetasi mulai dari dasar lereng hingga puncak lereng.
Ditinjau dari modus dan pola kebakaran, terdapat perbedaan kebakaran di masing-masing wilayah pengamatan yakni Samosir, Karo dan Simalungun. Kebakaran hutan dan lahan lebih ditengarai sebagai akibat pembakaran lahan kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan dan alang-alang (umumnya lahan milik) untuk mendorong pertumbuhan rumput segar untuk pakan ternak yang digembalakan secara liar. Karena dilakukan secara sembrono dan tidak diketahuinya teknik pembakaran secara terkendali (misalnya bagaimana kebakaran tersebut tidak menyebar pada arah yang tidak diinginkan), kebakaran menjadi tidak terkendali dan menghancurkan semua vegetasi yang ada hingga puncak lereng. Tingginya frekuensi kabakaran ini mengakibatkan banyak perbukitan di daerah Harian, Pangururan dan Sianjur Mula-mula di Samosir gundul dan hanya ditumbuhi rerumputan dan semak belukar. Lahan kosong alang-alang dan rumput inilah yang menjadi padang pengembalaan ternak sapi, kambing dan kerbau. Karena padang alang-alang ini merupakan bahan bakar yang rentan kebakaran, kebakaran kecil yang dapat hanya dipicu oleh puntung rokok dalam memicu kebakaran lahan dan hutan. 
Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Simalungun dan Karo lebih diakibatkan pembakaran dalam pembukaan lahan yang juga merembet ke kawasan hutan. Dengan rata-rata kecepatan yang angin yang tinggi, pembakaran lahan pertanian ini merembet dengan cepat. Pembakaran lahan dengan tujuan mendorong pertumbuhan rerumputan baru hampir tidak terdapat di wilayah ini. Tetapi, juga disinyalir bahwa terjadinya kebakaran pada sebagian kawasan hutan di wilayah ini dilakukan sebagai salah satu modus untuk penguasaan lahan. Tidak seperti halnya lahan tidur yang banyak terdapat di Samosir, sebagian besar lahan telah diusahakan (bahkan secara intensif) di Karo dan Simalungun. Tingginya kebutuhan lahan ini mendorong masyarakat mencari lahan baru yakni kawasan hutan dengan menduduki lahan-lahan hutan bekas kebakaran yang luasan kecil pada mulanya dan apabila tidak ada control dari aparat kehutanan lama-lama lahan yang diokupasi semakin luas.
Terjadinya kebakaran lahan dan hutan akibat pembakaran padang alang-alang telah terjadi cukup lama. Tidak ada informasi otentik kapan hal ini mulai terjadi. Tetapi, peristiwa kebakaran mulai sering terjadi ketika norma-norma adat mulai luntur ketika Indonesia merdeka (hukum formal lebih dominan), dan kejadian ini menjadi semakin sering terjadi setelah tahun 80-an ketika industri kehutanan masuk ke wilayah ini dan melakukan penebangan hutan (pinus) dalam skala besar. Penebangan pinus ini tidak saja mendorong kecemburuan masyarakat juga berdampak pada semakin menurunnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan ekosistem Danau Toba.
Lokasi kebakaran di Samosir (terutama di daerah Harian, Pangururan dan Sianjur Mula-mula) terjadi di lahan milik dan kawasan hutan. Umumnya pembakaran sengaja dilakukan bermula pada lahan milik (umumnya lahan tidur) yang kemudian merembet ke kawasan hutan. Karena vegetasi hutan yang ada didominasi oleh pinus yang banyak menghasilkan serasah di lantai hutan, api yang merembet tersebut turut membakar lantai hutan (kebakaran horizontal) yang akhirnya juga membakar tajuk pohon (crown fire). Sangat jarang oknum masyarakat langsung melakukan pembakaran di kawasan hutan karena pada umumnya masyarakat masih takut terhadap aparat kehutanan. Bahkan pembakaran padang alang-alang pada lahan milik sekalipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi dimana pemicu kebakaran menggunakan obat nyamuk dan korek api. Setelah waktu tertentu obat nyamuk membakar korek api yang menimbulkan api sehingga terjadi kebakaran.
Kebakaran hampir terjadi sepanjang tahun, tetapi intensitas yang tinggi terjadi pada musim-musim kemarau pada Juli – September. Tidak ada alat khusus yang digunakan untuk melakukan pembakaran pada saat pembukaan lahan. Petani umumnya hanya membuat sekat bakar, menebang pohon-pohon atau vegetasi yang berukuran cukup besar dan dengan 1 – 3 orang yang mengendalikan penjalarannya.
Pola kepemilikan ternak di Samosir umumnya dimiliki oleh keluarga besar/marga sehingga hal ini juga mengakibatkan sulitnya meminta pertanggung-jawaban apabila sekawanan ternak liar mencari pakan atau merusak tanaman petani lain (bahkan pihak yang disalahkan bukanlah peternak yang tidak mengembalakan ternaknya tetapi petani yang tidak memagar kebunnya). Juga menjadi pola yang umum jika para pemilik ternak menyerahkan kegiatan pengembalaan ternaknya kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (dari hasil penjualan ternak atau dari jumlah anak ternak yang dihasilkan). Pada daerah-daerah dengan kegiatan pertanian yang lebih maju seperti di Simanindo, ternak telah dikandangkan pada musim-musim tertentu seperti musim bertani dan pada musim lainnya digembalakan pada lahan pertanian (biasanya diikat). Sedangkan di daerah lainnya di Samosir yang kegiatan pertaniannya belum intensif, ternak dilepaskan pada musim-musim kemarau dan baru digembala pada musim bercocok tanam.
Seperti halnya streotif bahwa masyarakat Samosir bukanlah petani tetapi pekebun, tidak ada masyarakat yang betul-betul bekerja sebagai peternak. Hampir tidak ditemukan teknik-teknik bertani dengan alokasi waktu yang banyak di ladang dan lebih intensif seperti halnya di Jawa. Tidak adanya sistem pengairan mengakibatkan kegiatan bertani di Samosir mengandalkan curah hujan.
Karena tidak ada masyarakat yang betul-betul bekerja sebagai peternak, alokasi waktu untuk mengembalakan atau mencari pakan ternak tidak banyak. Umumnya masyarakat yang memiliki ternak, melepaskan ternaknya pada pagi hari dan mengumpulkan (atau mengandangkannya) pada sore hari. Dengan demikian petani tersebut dapat mengerjakan pekerjaan lainnya di ladang atau kebun. Berdasarkan wawancara dengan Dinas Peternakan, rendahnya kesadaran untuk mengkandangkan ternaknya didorong oleh masih rendahnya harga ternak akibat biaya transportasi yang tinggi di Samosir dan kurangnya penyuluhan. Karena pakan yang dimakan ternak tidak bergizi, kandungan daging/ protein kerbau lebih rendah dibandingkan ternak dari wilayah lainnya.  Walaupun memiliki jumlah ternak yang cukup banyak, para pemilik belum menganggap usaha peternakan sebagai usaha yang menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian.
Kegiatan pengembalaan ternak umumnya dilakukan oleh anak-anak dengan jumlah ternak yang digembalakan dapat mencapai 5 – 10 ekor kerbau atau sapi, dan jumlah ternak hingga 20 ekor kambing. Setelah anak-anak tersebut melepaskan ternaknya di pagi hari dan setelah pulang sekolah di sore hari baru mengembalakan dan mengandangkannya. Tetapi, pembakaran lahan alang-alang diperkirakan tidak dilakukan oleh anak-anak gembala ini, karena dari pengakuan mereka cukup takut melakukannya (dimungkinkan oleh orang dewasa). Apabila diperkirakan pakan rumput yang ada telah mau habis, maka dilakukan pembakaran padang dan mendorong pertumbuhan rumput dalam satu minggu berikutnya.
Kebakaran yang diakibatkan oleh alam seperti akibat petir jarang terjadi. Kebakaran akibat faktor alam terjadi akibat panas bumi (daerah hot spring) di daerah desa Aek Rangat Kecamatan Sianjur Mula-mula (tidak jauh dari Pangururan). Karena sumber air panas terdapat di pertengahan lereng, kebakaran yang terjadi dapat merembet hingga puncak bukit. Masyarakat tidak memiliki kepercayaan tertentu yang mentoleransi adanya kebakaran hutan secara alami. Pada daerah-daerah pertanian, sebagian masyarakat masih memiliki kepercayaan melakukan pembakaran ladang untuk mengundang hujan, terutama jika musim kemarau telah berlangsung cukup lama.
Kebakaran berulang tidak saja meningkatkan kekritisan lahan juga mengakibatkan banyak program rehabilitasi mengalami kegagalan. Kebakaran mematikan tanaman rehabilitasi yang ditanam sebelum tanaman tersebut membentuk penutupan tajuk yang dapat mengurangi resiko kebakaran. tercatat 1.064 hektar lahan kritis yang direhabilitasi di Kabupaten Toba Samosir pada periode 2004 – 2005 terbakar. Sebagian besar kebakaran (93,2%) terjadi pada kawasan hutan (reboisasi).
Hasil evaluasi keberhasilan penanaman Gerhan oleh Badan Litbang Kehutanan terhadap di Sumatera Utara mencatat luas lahan yang direhabilitasi pada tahun 2003 dan 2004 yang mengalami kebakaran seluas 1.457 hektar dalam kawasan hutan (reboisasi) dan 182 hektar pada hutan rakyat. Dengan kondisi tanaman rehabilitasi yang umumnya tidak terpelihara dengan baik, tidak adanya sekat bakar hijau dan jalur kuning (batas blok tanaman yang bersih/ bebas bahan bakar) terutama pada kegiatan reboisasi, peluang kegagalan penanaman akibat resiko kebakaran terutama pada musim kemarau sangat tinggi.
Walaupun kejadian kebakaran hutan dan lahan sangat sering terjadi, belum terlihat upaya serius untuk mengatasinya. Apabila terjadi kebakaran lahan yang merembet ke kawasan hutan (terutama di Samosir) hampir tidak ada kepedulian masyarakat untuk memadamkannya sehingga kebakaran tersebut berhenti setelah bahan bakar yang ada habis. Penyuluhan mengenai kebakaran hutan dari pemerintah dan LSM sudah pernah dilakukan terutama dalam program Gerhan, tetapi pola dan perilaku masyarakat ini belum berubah. Disinyalir (menurut pengakuan sebagian masyarakat), penyuluhan yang dilakukan atau diikuti oleh masyarakat karena ada “uang” dengan menghadiri kegiatan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar