Oleh : Aswandi
Peristiwa
kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba sering terjadi akibat perbuatan
manusia (antrophogenic fire) dan
sangat jarang dipicu oleh peristiwa alam seperti petir dan panas bumi. Pola
kebakaran umumnya dimulai dari pembakaran lahan untuk areal pertanian atau
lahan kosong/tidur yang hanya ditumbuhi oleh rumput dan alang-alang yang
kemudian merembet ke areal hutan. Tingginya tingkat kelerengan lahan yang
mendominasi DTA Danau Toba dan rendahnya kepedulian masyarakat untuk mencegah
perambatan kebakaran dari areal milik ke kawasan hutan mengakibatkan kerusakan
vegetasi mulai dari dasar lereng hingga puncak lereng.
Ditinjau
dari modus dan pola kebakaran, terdapat perbedaan kebakaran di masing-masing
wilayah pengamatan yakni Samosir, Karo dan Simalungun. Kebakaran hutan dan
lahan lebih ditengarai sebagai akibat pembakaran lahan kosong yang hanya ditumbuhi
rerumputan dan alang-alang (umumnya lahan milik) untuk mendorong pertumbuhan rumput
segar untuk pakan ternak yang digembalakan secara liar. Karena dilakukan secara
sembrono dan tidak diketahuinya teknik pembakaran secara terkendali (misalnya
bagaimana kebakaran tersebut tidak menyebar pada arah yang tidak diinginkan),
kebakaran menjadi tidak terkendali dan menghancurkan semua vegetasi yang ada
hingga puncak lereng. Tingginya frekuensi kabakaran ini mengakibatkan banyak
perbukitan di daerah Harian, Pangururan dan Sianjur Mula-mula di Samosir gundul
dan hanya ditumbuhi rerumputan dan semak belukar. Lahan kosong alang-alang dan
rumput inilah yang menjadi padang pengembalaan ternak sapi, kambing dan kerbau.
Karena padang alang-alang ini merupakan bahan bakar yang rentan kebakaran,
kebakaran kecil yang dapat hanya dipicu oleh puntung rokok dalam memicu
kebakaran lahan dan hutan.
Sedangkan
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Simalungun dan Karo lebih
diakibatkan pembakaran dalam pembukaan lahan yang juga merembet ke kawasan
hutan. Dengan rata-rata kecepatan yang angin yang tinggi, pembakaran lahan
pertanian ini merembet dengan cepat. Pembakaran lahan dengan tujuan mendorong
pertumbuhan rerumputan baru hampir tidak terdapat di wilayah ini. Tetapi, juga
disinyalir bahwa terjadinya kebakaran pada sebagian kawasan hutan di wilayah
ini dilakukan sebagai salah satu modus untuk penguasaan lahan. Tidak seperti
halnya lahan tidur yang banyak terdapat di Samosir, sebagian besar lahan telah
diusahakan (bahkan secara intensif) di Karo dan Simalungun. Tingginya kebutuhan
lahan ini mendorong masyarakat mencari lahan baru yakni kawasan hutan dengan
menduduki lahan-lahan hutan bekas kebakaran yang luasan kecil pada mulanya dan
apabila tidak ada control dari aparat kehutanan lama-lama lahan yang diokupasi
semakin luas.
Terjadinya
kebakaran lahan dan hutan akibat pembakaran padang alang-alang telah terjadi
cukup lama. Tidak ada informasi otentik kapan hal ini mulai terjadi. Tetapi,
peristiwa kebakaran mulai sering terjadi ketika norma-norma adat mulai luntur
ketika Indonesia merdeka (hukum formal lebih dominan), dan kejadian ini menjadi
semakin sering terjadi setelah tahun 80-an ketika industri kehutanan masuk ke
wilayah ini dan melakukan penebangan hutan (pinus) dalam skala besar.
Penebangan pinus ini tidak saja mendorong kecemburuan masyarakat juga berdampak
pada semakin menurunnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan dan
ekosistem Danau Toba.
Lokasi
kebakaran di Samosir (terutama di daerah Harian, Pangururan dan Sianjur
Mula-mula) terjadi di lahan milik dan kawasan hutan. Umumnya pembakaran sengaja
dilakukan bermula pada lahan milik (umumnya lahan tidur) yang kemudian merembet
ke kawasan hutan. Karena vegetasi hutan yang ada didominasi oleh pinus yang
banyak menghasilkan serasah di lantai hutan, api yang merembet tersebut turut membakar
lantai hutan (kebakaran horizontal) yang akhirnya juga membakar tajuk pohon
(crown fire). Sangat jarang oknum masyarakat langsung melakukan pembakaran di
kawasan hutan karena pada umumnya masyarakat masih takut terhadap aparat
kehutanan. Bahkan pembakaran padang alang-alang pada lahan milik sekalipun
dilakukan secara sembunyi-sembunyi dimana pemicu kebakaran menggunakan obat
nyamuk dan korek api. Setelah waktu tertentu obat nyamuk membakar korek api
yang menimbulkan api sehingga terjadi kebakaran.
Kebakaran
hampir terjadi sepanjang tahun, tetapi intensitas yang tinggi terjadi pada
musim-musim kemarau pada Juli – September. Tidak ada alat khusus yang digunakan
untuk melakukan pembakaran pada saat pembukaan lahan. Petani umumnya hanya
membuat sekat bakar, menebang pohon-pohon atau vegetasi yang berukuran cukup
besar dan dengan 1 – 3 orang yang mengendalikan penjalarannya.
Pola
kepemilikan ternak di Samosir umumnya dimiliki oleh keluarga besar/marga
sehingga hal ini juga mengakibatkan sulitnya meminta pertanggung-jawaban
apabila sekawanan ternak liar mencari pakan atau merusak tanaman petani lain
(bahkan pihak yang disalahkan bukanlah peternak yang tidak mengembalakan
ternaknya tetapi petani yang tidak memagar kebunnya). Juga menjadi pola yang
umum jika para pemilik ternak menyerahkan kegiatan pengembalaan ternaknya
kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (dari hasil penjualan ternak atau
dari jumlah anak ternak yang dihasilkan). Pada daerah-daerah dengan kegiatan
pertanian yang lebih maju seperti di Simanindo, ternak telah dikandangkan pada
musim-musim tertentu seperti musim bertani dan pada musim lainnya digembalakan
pada lahan pertanian (biasanya diikat). Sedangkan di daerah lainnya di Samosir
yang kegiatan pertaniannya belum intensif, ternak dilepaskan pada musim-musim
kemarau dan baru digembala pada musim bercocok tanam.
Seperti
halnya streotif bahwa masyarakat Samosir bukanlah petani tetapi pekebun, tidak
ada masyarakat yang betul-betul bekerja sebagai peternak. Hampir tidak
ditemukan teknik-teknik bertani dengan alokasi waktu yang banyak di ladang dan
lebih intensif seperti halnya di Jawa. Tidak adanya sistem pengairan
mengakibatkan kegiatan bertani di Samosir mengandalkan curah hujan.
Karena
tidak ada masyarakat yang betul-betul bekerja sebagai peternak, alokasi waktu
untuk mengembalakan atau mencari pakan ternak tidak banyak. Umumnya masyarakat
yang memiliki ternak, melepaskan ternaknya pada pagi hari dan mengumpulkan
(atau mengandangkannya) pada sore hari. Dengan demikian petani tersebut dapat mengerjakan
pekerjaan lainnya di ladang atau kebun. Berdasarkan wawancara dengan Dinas
Peternakan, rendahnya kesadaran untuk mengkandangkan ternaknya didorong oleh
masih rendahnya harga ternak akibat biaya transportasi yang tinggi di Samosir
dan kurangnya penyuluhan. Karena pakan yang dimakan ternak tidak bergizi,
kandungan daging/ protein kerbau lebih rendah dibandingkan ternak dari wilayah
lainnya. Walaupun memiliki jumlah ternak
yang cukup banyak, para pemilik belum menganggap usaha peternakan sebagai usaha
yang menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian.
Kegiatan
pengembalaan ternak umumnya dilakukan oleh anak-anak dengan jumlah ternak yang
digembalakan dapat mencapai 5 – 10 ekor kerbau atau sapi, dan jumlah ternak
hingga 20 ekor kambing. Setelah anak-anak tersebut melepaskan ternaknya di pagi
hari dan setelah pulang sekolah di sore hari baru mengembalakan dan
mengandangkannya. Tetapi, pembakaran lahan alang-alang diperkirakan tidak
dilakukan oleh anak-anak gembala ini, karena dari pengakuan mereka cukup takut
melakukannya (dimungkinkan oleh orang dewasa). Apabila diperkirakan pakan
rumput yang ada telah mau habis, maka dilakukan pembakaran padang dan mendorong
pertumbuhan rumput dalam satu minggu berikutnya.
Kebakaran
yang diakibatkan oleh alam seperti akibat petir jarang terjadi. Kebakaran
akibat faktor alam terjadi akibat panas bumi (daerah hot spring) di daerah desa
Aek Rangat Kecamatan Sianjur Mula-mula (tidak jauh dari Pangururan). Karena
sumber air panas terdapat di pertengahan lereng, kebakaran yang terjadi dapat
merembet hingga puncak bukit. Masyarakat tidak memiliki kepercayaan tertentu
yang mentoleransi adanya kebakaran hutan secara alami. Pada daerah-daerah
pertanian, sebagian masyarakat masih memiliki kepercayaan melakukan pembakaran
ladang untuk mengundang hujan, terutama jika musim kemarau telah berlangsung
cukup lama.
Kebakaran
berulang tidak saja meningkatkan kekritisan lahan juga mengakibatkan banyak
program rehabilitasi mengalami kegagalan. Kebakaran mematikan tanaman
rehabilitasi yang ditanam sebelum tanaman tersebut membentuk penutupan tajuk
yang dapat mengurangi resiko kebakaran. tercatat 1.064 hektar lahan kritis yang
direhabilitasi di Kabupaten Toba Samosir pada periode 2004 – 2005 terbakar.
Sebagian besar kebakaran (93,2%) terjadi pada kawasan hutan (reboisasi).
Hasil
evaluasi keberhasilan penanaman Gerhan oleh Badan Litbang Kehutanan terhadap di
Sumatera Utara mencatat luas lahan yang direhabilitasi pada tahun 2003 dan 2004
yang mengalami kebakaran seluas 1.457 hektar dalam kawasan hutan (reboisasi)
dan 182 hektar pada hutan rakyat. Dengan kondisi tanaman rehabilitasi yang
umumnya tidak terpelihara dengan baik, tidak adanya sekat bakar hijau dan jalur
kuning (batas blok tanaman yang bersih/ bebas bahan bakar) terutama pada
kegiatan reboisasi, peluang kegagalan penanaman akibat resiko kebakaran
terutama pada musim kemarau sangat tinggi.
Walaupun kejadian kebakaran hutan dan lahan
sangat sering terjadi, belum terlihat upaya serius untuk mengatasinya. Apabila
terjadi kebakaran lahan yang merembet ke kawasan hutan (terutama di Samosir)
hampir tidak ada kepedulian masyarakat untuk memadamkannya sehingga kebakaran
tersebut berhenti setelah bahan bakar yang ada habis. Penyuluhan mengenai
kebakaran hutan dari pemerintah dan LSM sudah pernah dilakukan terutama dalam
program Gerhan, tetapi pola dan perilaku masyarakat ini belum berubah.
Disinyalir (menurut pengakuan sebagian masyarakat), penyuluhan yang dilakukan
atau diikuti oleh masyarakat karena ada “uang” dengan menghadiri kegiatan
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar