Selasa, 27 Maret 2012

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN ACEH SETELAH MORATORIUM PENEBANGAN


Oleh :
Cut Rizlani Kholibrina

Pendahuluan
Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa, Gubernur Aceh mengeluarkan kebijakan moratorium logging  (jeda tebang) tidak lama setelah diangkat sebagai pemimpin rakyat Aceh. Kebijakan ini patut diacungi jempol karena memihak lingkungan dengan mengurangi penebangan liar sehingga mendapatkan apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Apresiasi yang tinggi terhadap konsistensi kebijakan ini kembali disampaikan para wakil rakyat di DPRD Aceh pada tanggal 26 Mei  dalam Sidang Paripurna Pembahasan RAPBA 2008 yang juga dihadiri oleh Gubernur.
Akan tetapi apresiasi yang disampaikan juga diikuti dengan pertanyaan : Apa yang harus dilakukan untuk menutupi kebutuhan kayu sedangkan hasil kayu dari hutan produksi Aceh nihil dan pemenuhan dari hutan rakyat belum dapat diandalkan?. Jika pun terdapat kayu rakyat, perangkat peraturan yang ada belum menjadi insentif bagi masyarakat menanam pohon. Pertanyaan ini sangat realistis mengingat Aceh membutuhkan kayu yang sangat tinggi bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami hingga 200.000 m3/tahun (Kompas, 7 April 2006). Apabila kebijakan jeda tebang ini tidak diikuti oleh perangkat kebijakan yang mendukung maka akan sangat sulit kebijakan pro lingkungan ini dapat bertahan dalam jangka panjang.

Banjir dan Kerusakan KEL
Selama beberapa tahun terakhir, berbagai media cetak dan elektronik nasional melaporkan peristiwa banjir besar yang menggenangi dan menghancurkan beberapa kabupaten di NAD dan Sumatera Utara. Ketika banjir bandang menghancurkan kawasan Langkat Sumatera Utara, meluapnya Sungai Tamiang yang membawa ribuan kubik kayu dan pepohonan yang tercerabut di Aceh Tamiang, banjir bandang di Meukek Aceh Selatan dan banyak peristiwa banjir lainnya yang menewaskan ratusan warga yang tak berdosa serta kerugian finansial dan moril yang sangat besar.
Namun, serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu. Hingga kini belum begitu jelas upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu. Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan ekosistem penyangga hampir di sebagian besar NAD dan sebagian Sumatera Utara sudah lama dirusak. Diyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar dan perambahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah merubah penutupan kawasan ini hingga mencapai 42.000 hektar.
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia dan merupakan hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air di NAD dan Sumatera Utara. Hutan Leuser juga menyediakan tempat-tempat resapan air berbentuk hutan gambut dan rawa-rawa seperti Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air.
Namun penebangan baik legal maupun ilegal pada kawasan ini mengakibatkan perubahan penutupan vegetasi, kerusakan habitat dan tidak berfungsinya jasa-jasa lingkungan lainnya. Jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar (Beukering dan Cesar. 2001).
Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di kawasan ini. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan lahan lainnya di luar kehutanan. Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terangterangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Penurunan penutupan vegetasi pada ekosistem ini mengakibatkan rusaknya kemampuan penyerapan air tanah oleh pohon hutan sehingga curah hujan tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas sehingga peristiwa banjir sangat mungkin terjadi yang tentu saja dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Hilangnya hutan yang merupakan habitat jutaan flora dan fauna mengakibatkan rantai makanan terganggu sehingga  mengakibatkan kepunahan spesies. Karena habitat alaminya terganggu, sebagian fauna besar seperti gajah dan harimau sumatera turun ke pemukiman masyarakat mencari mangsa. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan masyarakat, namun satwa tersebut juga tidak memiliki pilihan untuk bertahan di habitat alamnya karena juga semakin terjepit akibat pangan dan mangsanya yang semakin menipis.
Kerusakan hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di Indonesia. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.

Rencana Kerja
Disahkannya UUPA yang bernuasan ’hijau’ dengan kewajiban pemerintah Aceh untuk menjaga kelestarian sumberdaya alamnya dan adanya larangan untuk mengeluarkan izin pengusahaan (penebangan) hutan pada Kawasan Ekosistem Leuser yang dipertegas oleh misi gubernur NAD yang baru terpilih untuk meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan dengan menciptakan sistem pengelolaan hutan berbasis masya-rakat yang lestari harus dijadikan tonggak penting bagi pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.
Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan penutupan lahan yang sangat serius pada kawasan lindung di NAD dan Sumatera Utara dapat mengancam kehidupan di wilayah ini. Dengan luas ± 1,8 juta ha atau 39,27% luas daerah NAD (bahkan mencapai persentase > 80% pada beberapa kabupaten seperti Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tengara) (Disbunhut Aceh Selatan, 2006), gangguan terhadap kawasan lindung ini harus dicegah agar fungsi kawasan sebagai sistem penyangga kehidupan seperti pelindungan erosi dan banjir, sumber air dan udara bersih, dan sumber sandang dan pangan di NAD dan Sumatera Utara tidak terganggu.
Rencana kerja penanganan dan pencegahan banjir di masa depan harus diarahkan pada pengelolaan Derah Aliran Sungai (DAS) yang baik dengan mengurangi kerusakan hutan dan meningkatkan penutupan vegetasi melalui pengembangan program-program yang berdampak positif bagi pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis yang tepat (terutama memiliki akar tunjang dan serabut yang baik) dan pemberian motivasi kepada masyarakat untuk menanam tanaman perkebunan dan kehutanan yang potensial akan sangat menentukan upaya pemulihan DAS.

Insentif Pengembangan Hutan Rakyat
Disadari bahwa untuk menghentikan penebangan liar dibutuhkan pendekatan yang komprehensif mulai dari penegakan hukum, penataan pasar dan pemenuhan kebutuhan kayu dari alternatif usaha kehutanan yang lestari. Jika selama ini kita mengandalkan Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terbukti tidak lestari dan tidak memiihak masyarakat, tidak ada salahnya kita mulai menggali skim pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tidak seperti HPH yang padat modal dan skala luas, skim ini dapat memiliki luasan yang kecil, padat karya dengan partisipasi masyarakat yang tentu berpihak pada kesejahteraan masyarakat. 
Salah satu skim pengelolalaan hutan bersama masyararakat adalah hutan rakyat. Hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu rakyat dan rehabilitasi lahan. Luas hutan rakyat minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman minimal 500 tanaman per-hektar.
Sesungguhnya hutan rakyat telah lama berkembang di masyarakat dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai investasi dan penghasilan tambahan yang dapat diandalkan. Hal inilah yang mendorong pemerintah memberikan berbagai insentif seperti Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) sejak tahun 1997 dan mengeluarkan berbagai peraturan penertiban kayu rakyat. Tetapi dalam pelaksanaannya, kebijakan yang dikeluarkan malah menjadi disinsetif. Kewajiban kayu hutan rakyat memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) menambah beban biaya. Padahal, dalam PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa kayu yang berasal dari hutan hak diberi Surat Keterangan Asal Usul yang diterbitkan oleh kepala desa atau pejabat setara dan berlaku sebagai SKSHH.
Untuk memperkuat PP tersebut dikeluarkan Peraturan Menteri  Kehutanan No. P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak.  Tetapi perbedaan penafsiran  dari berbagai stakeholder mengakibatkan insentif ini tidak berjalan dengan baik. Adanya over-acting oknum keamanan dalam penertiban kayu juga sedikit banyak meruntuhkan semangat petani hutan rakyat.  Belum lagi beberapa kewajiban lainnya seperti retribusi daerah, jasa keamanan dan lainnya yang mengakibatkan biaya tinggi sehingga masyarakat tidak tertarik menanam karena kesulitan memanennya.
Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh pemerintah daerah NAD selain memberikan insentif kebijakan yang tepat dan betul-betul berpihak. Peluang otonomi daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk menyusun perangkat hukum dan birokrasi yang lebih ringkas harus dimanfaatkan. UUPA dan Qanun Kehutanan NAD harus diberdayakan dan diperkuat dengan penyusunan perangkat hukum dibawahnya. Banyaknya hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan kehutanan (UU, PP dan SK Menteri) tidak boleh dijadikan penghambat. Harus mulai diinisiasikan pembelajaran masyarakat dapat  penyusunan Peraturan Desa terutama yang berkaitan dengan penguatan bukti-bukti atau asal usul kayu rakyat. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang berada di luar kawasan hutan seperti rotan, getah damar, lebah madu dan lainnya yang belum memiliki payung hukum dapat difasilitasi dengan penerbitan qanun (perda) yang berkaitan dengan hal tersebut.
Insentif pengembangan hutan rakyat juga dapat diberikan melalui pembebasan biaya dan kemudahan birokrasi dalam pengurusan izin/ surat keterangan, kredit lunak, penghapusan berbagai pungutan/ retribusi, bantuan pembangunan dan pemeliharaan hutan rakyat dan sebagainya yang tentu saja akan lebih mudah pelaksanaannya dalam kerangka otonomi daerah. Koordinasi antar sektor (Kehutanan, Perhubungan, Koperasi, Perdagangan, dan Kepolisian) harus dilakukan sehingga keragaman interpretasi terhadap suatu kebijakan dapat dihindari.

Jasa Lingkungan : Carbon Trade
Perhatian dunia terhadap pemanasan global mengemuka dalam dua dasa warsa terakhir dan puncaknya pada Konvensi Internasional tentang Perubahan Iklim yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Dalam protocol tersebut disepakati bahwa pemanasan global merupakan masalah semua bangsa sehingga penanganannya harus melibatkan semua negara. Dalam protocol tersebut ditawarkan beberapa solusi seperti mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism) dan pencegahan deforestasi (Avoided Deforestation/AD) yang mengacu pada pencegahan hilangnya hutan untuk menurunkan emisi gas yang akan mengakibatkan pemanasan global (IPC, 1994). Ide dasar mekanisme ini adalah negara-negara maju di Utara membayar negara-negara berkembang di selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dengan memberi bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut.
Dalam perkembangannya mekanisme AD tidak hanya saja mengusung pencegahan deforestasi, tetapi juga penurunan emisi dari pencegahan degradasi hutan. Skim ini kemudian dikenal sebagai Reduced Emission from Degradation and Deforestations (REDD). REDD menawarkan kewajiban membayar melalui sistem perdagangan karbon bagi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang guna mengurangi penggundulan hutannya.  Skim REDD ini menjanjikan kempensasi dana hingga US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun dari negara-negara maju untuk menyelesaikan masalah kerusakan hutan (Kompas, 7/12/2007).
Mekanisme yang ditawarkan oleh REDD dapat menjadi sumber pendapatan pemerintah (pusat/ daerah) dengan adanya dana kompensasi tersebut, terutama dalam kerangka otonomi khusus – dalam pengelolaan hutan. Dana kompensasi juga dapat diberikan kepada pengelola kawasan lindung, inisiatif pemberantasan illegal logging, skema pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan kondisi kawasan lindung yang mendominasi fungsi lahan di Aceh, telah adanya inisiatif pemberantasan illegal logging melalui moratorium penebangan, skim REDD ini dapat dijadikan peluang untuk memperoleh dana kompensasi yang dapat dijadikan sumber pembiayaan pengelolaan dan perlindungan hutan di Aceh.
Apakah sudah ada pemerintah daerah yang memulai? Pemerintah Daerah Papua dan Pemerintah Aceh menyatakan kesiapannya menjadi daerah percontohan kegiatan REDD mulai pertengahan 2008 (Kompas, 7/12/2007). Akan tetapi satu hal yang harus disiapkan oleh stakeholder kehutanan Aceh, bahwa  apapun strategi yang akan ditempuh masalah penatagunaan dan pengukuhan hutan merupakan hal pertama yang harus diselesaikan.

Penutup
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Penegakan hukum memegang kata kunci bagi usaha pelestarian hutan melalui pelaksanaan UU Kehutanan secara komprehensif. Prinsip-prinsip kelestarian yang menjadi dasar moral pengelolaan hutan harus dipegang teguh oleh setiap pengambil kebijakan. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. ****


Daftar Pustaka
Beukering, P. V. dan H. Cesar. 2001. Nilai Ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser di Sumatera, Indonesia. Consultant Report, UML
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan, 2006. Neraca Sumberdaya Hutan Aceh Selatan.
IPC, 1994. Mechanisms under the Kyoto Protocol. http://www.unfccc.int
Kompas, Rekonstruksi Aceh pasca Tsunami Membutuhkan Kayu. terbit 7 April 206
Kompas, Indonesia Siapkan Proyek Percontohan REDD. terbit 7 Desember 2007
Peraturan Menteri  Kehutanan No. P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Sistem Pemerintahan Aceh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar