Oleh
:
Pendahuluan
Untuk
menyelamatkan hutan yang tersisa, Gubernur Aceh mengeluarkan kebijakan moratorium logging (jeda tebang) tidak lama setelah diangkat
sebagai pemimpin rakyat Aceh. Kebijakan ini patut diacungi jempol karena
memihak lingkungan dengan mengurangi penebangan liar sehingga mendapatkan
apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Apresiasi yang tinggi terhadap konsistensi
kebijakan ini kembali disampaikan para wakil rakyat di DPRD Aceh pada tanggal
26 Mei dalam Sidang Paripurna Pembahasan
RAPBA 2008 yang juga dihadiri oleh Gubernur.
Akan
tetapi apresiasi yang disampaikan juga diikuti dengan pertanyaan : Apa yang
harus dilakukan untuk menutupi kebutuhan kayu sedangkan hasil kayu dari hutan
produksi Aceh nihil dan pemenuhan dari hutan rakyat belum dapat diandalkan?.
Jika pun terdapat kayu rakyat, perangkat peraturan yang ada belum menjadi
insentif bagi masyarakat menanam pohon. Pertanyaan ini sangat realistis mengingat
Aceh membutuhkan kayu yang sangat
tinggi bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami hingga 200.000
m3/tahun (Kompas, 7 April 2006). Apabila kebijakan jeda
tebang ini tidak diikuti oleh perangkat kebijakan yang mendukung maka akan
sangat sulit kebijakan pro lingkungan ini dapat bertahan dalam jangka panjang.
Banjir dan Kerusakan KEL
Selama beberapa tahun terakhir, berbagai media cetak dan
elektronik nasional melaporkan peristiwa banjir besar yang menggenangi dan
menghancurkan beberapa kabupaten di NAD dan Sumatera Utara. Ketika
banjir bandang menghancurkan kawasan Langkat Sumatera Utara, meluapnya Sungai
Tamiang yang membawa ribuan kubik kayu dan pepohonan yang tercerabut di Aceh
Tamiang, banjir bandang di Meukek Aceh Selatan dan banyak peristiwa banjir
lainnya yang menewaskan ratusan warga yang tak berdosa serta kerugian finansial
dan moril yang sangat besar.
Namun,
serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim
hujan tak pernah menjadi pelajaran untuk berupaya memperbaiki kerusakan
lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu. Hingga kini belum
begitu jelas upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya
yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu. Kawasan Ekosistem Leuser
yang merupakan ekosistem penyangga hampir di sebagian besar NAD dan sebagian
Sumatera Utara sudah lama dirusak. Diyakini, banjir bandang itu terjadi akibat
maraknya penebangan liar dan perambahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
yang telah merubah penutupan kawasan ini hingga mencapai 42.000 hektar.
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia dan
merupakan hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan
air di NAD dan Sumatera Utara. Hutan Leuser juga menyediakan tempat-tempat
resapan air berbentuk hutan gambut dan rawa-rawa seperti Rawa Singkil-Trumon,
Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke
sungai dan membentuk daerah tangkapan air.
Namun penebangan baik legal maupun ilegal pada kawasan ini
mengakibatkan perubahan penutupan vegetasi, kerusakan habitat dan tidak
berfungsinya jasa-jasa lingkungan lainnya. Jika tahun 1985 yang rusak masih
229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar
dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah
mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar (Beukering dan
Cesar. 2001).
Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di kawasan
ini. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati
adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit
dan pemanfaatan lahan lainnya di luar kehutanan. Sekalipun ilegal, sering kali
konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara
terangterangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan
(selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit.
Penurunan penutupan vegetasi pada ekosistem ini mengakibatkan
rusaknya kemampuan penyerapan air tanah oleh pohon hutan sehingga curah hujan
tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk
mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas sehingga peristiwa banjir
sangat mungkin terjadi yang tentu saja dapat menurunkan kualitas lingkungan
hidup. Hilangnya hutan yang merupakan habitat jutaan flora dan fauna
mengakibatkan rantai makanan terganggu sehingga
mengakibatkan kepunahan spesies. Karena habitat alaminya terganggu,
sebagian fauna besar seperti gajah dan harimau sumatera turun ke pemukiman
masyarakat mencari mangsa. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan masyarakat,
namun satwa tersebut juga tidak memiliki pilihan untuk bertahan di habitat
alamnya karena juga semakin terjepit akibat pangan dan mangsanya yang semakin
menipis.
Kerusakan hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan
di Indonesia. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat
tekanan luar biasa, terutama di era reformasi. Lemahnya upaya penegakan hukum,
praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas
kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan
konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang
yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin
terdegradasinya kawasan hutan.
Rencana Kerja
Disahkannya UUPA yang bernuasan ’hijau’ dengan kewajiban
pemerintah Aceh untuk menjaga kelestarian sumberdaya alamnya dan adanya
larangan untuk mengeluarkan izin pengusahaan (penebangan) hutan pada Kawasan
Ekosistem Leuser yang dipertegas oleh misi gubernur NAD yang baru terpilih
untuk meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan dengan menciptakan sistem
pengelolaan hutan berbasis masya-rakat yang lestari harus dijadikan tonggak
penting bagi pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam
rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi
kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan
dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan
kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan
hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi
konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok
hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi
hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga
meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta
masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut
sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus
tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan
hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih
produktif menjadi hutan tanaman.
Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan penutupan
lahan yang sangat serius pada kawasan lindung di NAD dan Sumatera Utara dapat
mengancam kehidupan di wilayah ini. Dengan luas ± 1,8 juta ha atau 39,27% luas
daerah NAD (bahkan mencapai persentase > 80% pada beberapa kabupaten seperti
Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tengara) (Disbunhut Aceh Selatan, 2006),
gangguan terhadap kawasan lindung ini harus dicegah agar fungsi kawasan sebagai
sistem penyangga kehidupan seperti pelindungan erosi dan banjir, sumber air dan
udara bersih, dan sumber sandang dan pangan di NAD dan Sumatera Utara tidak
terganggu.
Rencana kerja penanganan dan pencegahan banjir di masa
depan harus diarahkan pada pengelolaan Derah Aliran Sungai (DAS) yang baik
dengan mengurangi kerusakan hutan dan meningkatkan penutupan vegetasi melalui
pengembangan program-program yang berdampak positif bagi pemberdayaan
masyarakat. Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis yang tepat (terutama
memiliki akar tunjang dan serabut yang baik) dan pemberian motivasi kepada
masyarakat untuk menanam tanaman perkebunan dan kehutanan yang potensial akan
sangat menentukan upaya pemulihan DAS.
Insentif Pengembangan Hutan
Rakyat
Disadari bahwa untuk menghentikan penebangan liar
dibutuhkan pendekatan yang komprehensif mulai dari penegakan hukum, penataan
pasar dan pemenuhan kebutuhan kayu dari alternatif usaha kehutanan yang
lestari. Jika selama ini kita mengandalkan Hak Pengusahaan Hutan (Izin Usaha Pemungutan
Hasil Hutan Kayu) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terbukti tidak lestari dan
tidak memiihak masyarakat, tidak ada salahnya kita mulai menggali skim
pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tidak seperti HPH yang padat modal dan
skala luas, skim ini dapat memiliki luasan yang kecil, padat karya dengan
partisipasi masyarakat yang tentu berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Salah satu skim pengelolalaan hutan bersama masyararakat
adalah hutan rakyat. Hutan
rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak
lainnya di luar kawasan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu rakyat dan
rehabilitasi lahan. Luas hutan rakyat minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan dan atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan atau pada
tanaman tahun pertama dengan tanaman minimal 500 tanaman per-hektar.
Sesungguhnya hutan rakyat telah lama
berkembang di masyarakat dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai
investasi dan penghasilan tambahan yang dapat diandalkan. Hal inilah yang
mendorong pemerintah memberikan berbagai insentif seperti Kredit Usaha Hutan
Rakyat (KUHR) sejak tahun 1997 dan mengeluarkan berbagai peraturan penertiban
kayu rakyat. Tetapi dalam pelaksanaannya, kebijakan yang dikeluarkan malah menjadi
disinsetif. Kewajiban kayu hutan rakyat memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH) menambah beban biaya. Padahal, dalam PP 34/2002 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa kayu yang berasal dari hutan hak
diberi Surat Keterangan Asal Usul yang diterbitkan oleh kepala desa atau
pejabat setara dan berlaku sebagai SKSHH.
Untuk memperkuat PP tersebut
dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10
Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang
berasal dari hutan hak. Tetapi perbedaan
penafsiran dari berbagai stakeholder
mengakibatkan insentif ini tidak berjalan dengan baik. Adanya over-acting oknum keamanan dalam
penertiban kayu juga sedikit banyak meruntuhkan semangat petani hutan rakyat. Belum lagi beberapa kewajiban lainnya seperti
retribusi daerah, jasa keamanan dan lainnya yang mengakibatkan biaya tinggi
sehingga masyarakat
tidak tertarik menanam karena kesulitan memanennya.
Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh pemerintah
daerah NAD selain memberikan insentif kebijakan yang tepat dan betul-betul
berpihak. Peluang otonomi daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk
menyusun perangkat hukum dan birokrasi yang lebih ringkas harus dimanfaatkan.
UUPA dan Qanun Kehutanan NAD harus diberdayakan dan diperkuat dengan penyusunan
perangkat hukum dibawahnya. Banyaknya hal-hal yang belum diatur dalam peraturan
perundangan kehutanan (UU, PP dan SK Menteri) tidak boleh dijadikan penghambat.
Harus mulai diinisiasikan pembelajaran masyarakat dapat penyusunan Peraturan Desa terutama yang berkaitan dengan penguatan bukti-bukti
atau asal usul kayu rakyat. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang berada di
luar kawasan hutan seperti rotan, getah damar, lebah madu dan lainnya yang
belum memiliki payung hukum dapat difasilitasi dengan penerbitan qanun (perda)
yang berkaitan dengan hal tersebut.
Insentif pengembangan hutan rakyat juga dapat diberikan
melalui pembebasan biaya dan kemudahan birokrasi dalam pengurusan izin/ surat
keterangan, kredit lunak, penghapusan berbagai pungutan/ retribusi, bantuan
pembangunan dan pemeliharaan hutan rakyat dan sebagainya yang tentu saja akan
lebih mudah pelaksanaannya dalam kerangka otonomi daerah. Koordinasi antar
sektor (Kehutanan, Perhubungan, Koperasi, Perdagangan, dan Kepolisian) harus
dilakukan sehingga keragaman interpretasi terhadap suatu kebijakan dapat
dihindari.
Jasa Lingkungan : Carbon Trade
Perhatian
dunia terhadap pemanasan global mengemuka dalam dua dasa warsa terakhir dan
puncaknya pada Konvensi Internasional tentang Perubahan Iklim yang dikenal
dengan Protokol Kyoto. Dalam protocol tersebut disepakati bahwa pemanasan
global merupakan masalah semua bangsa sehingga penanganannya harus melibatkan
semua negara. Dalam protocol tersebut ditawarkan beberapa solusi seperti mekanisme pembangunan
bersih (Clean Development Mechanism) dan
pencegahan deforestasi (Avoided
Deforestation/AD) yang mengacu pada pencegahan hilangnya hutan untuk
menurunkan emisi gas yang akan mengakibatkan pemanasan global (IPC, 1994). Ide
dasar mekanisme ini adalah negara-negara maju di Utara membayar negara-negara berkembang
di selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dengan memberi bantuan keuangan
untuk kepentingan tersebut.
Dalam perkembangannya mekanisme AD tidak
hanya saja mengusung pencegahan deforestasi, tetapi juga penurunan emisi dari
pencegahan degradasi hutan. Skim ini kemudian dikenal sebagai Reduced Emission from Degradation and
Deforestations (REDD). REDD menawarkan kewajiban membayar melalui sistem
perdagangan karbon bagi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang guna
mengurangi penggundulan hutannya. Skim
REDD ini menjanjikan kempensasi dana hingga US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun)
pertahun dari negara-negara maju untuk menyelesaikan masalah kerusakan hutan
(Kompas, 7/12/2007).
Mekanisme yang ditawarkan oleh REDD dapat
menjadi sumber pendapatan pemerintah (pusat/ daerah) dengan adanya dana
kompensasi tersebut, terutama dalam kerangka otonomi khusus – dalam pengelolaan
hutan. Dana kompensasi juga dapat diberikan kepada pengelola kawasan lindung,
inisiatif pemberantasan illegal logging, skema pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan
hutan berbasis masyarakat. Dengan
kondisi kawasan lindung yang mendominasi fungsi lahan di Aceh, telah adanya
inisiatif pemberantasan illegal logging melalui moratorium penebangan, skim
REDD ini dapat dijadikan peluang untuk memperoleh dana kompensasi yang dapat
dijadikan sumber pembiayaan pengelolaan dan perlindungan hutan di Aceh.
Apakah sudah ada pemerintah daerah
yang memulai? Pemerintah Daerah Papua dan Pemerintah Aceh menyatakan
kesiapannya menjadi daerah percontohan kegiatan REDD mulai pertengahan 2008
(Kompas, 7/12/2007). Akan tetapi satu hal yang harus disiapkan oleh stakeholder
kehutanan Aceh, bahwa apapun strategi
yang akan ditempuh masalah penatagunaan dan pengukuhan hutan merupakan hal
pertama yang harus diselesaikan.
Penutup
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat
yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat
ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu
hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi
sekarang maupun yang akan datang. Penegakan
hukum memegang kata kunci bagi usaha pelestarian hutan melalui pelaksanaan UU
Kehutanan secara komprehensif. Prinsip-prinsip kelestarian yang menjadi dasar
moral pengelolaan hutan harus dipegang teguh oleh setiap pengambil kebijakan. Dalam
kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah
memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga
kelestariannya. ****
Daftar
Pustaka
Beukering, P. V. dan H. Cesar.
2001. Nilai Ekonomi Kawasan Ekosistem
Leuser di Sumatera, Indonesia. Consultant Report, UML
Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan, 2006. Neraca Sumberdaya Hutan
Aceh Selatan.
IPC,
1994. Mechanisms under the Kyoto Protocol. http://www.unfccc.int
Kompas,
Rekonstruksi Aceh pasca Tsunami Membutuhkan Kayu. terbit 7 April 206
Kompas,
Indonesia Siapkan Proyek Percontohan REDD. terbit 7 Desember 2007
Peraturan
Menteri Kehutanan No.
P.51/Menhut/II/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Penggunaan SKAU untuk
pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak
Undang-undang
No. 11 tahun 2006 tentang Sistem Pemerintahan Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar